
PERSOALAN minimnya ruang berkesenian dan berkreasi bagi kaum muda di Kota Semarang, sudah menjadi persoalan lama yang hingga kini belum juga terpecahkan. Meski pemkot berusaha untuk membangun banyak ruang-ruang berkesenian baru yang diperuntukkan bagi anak muda, tapi nyatanya hal itu belum menjawab kebutuhan persoalan ruang kesenian tersebut. Termasuk saat ini, ketika tekhnologi makin berkembang pesat dan ruang kreasi makin beragam. Keresahan itulah yang muncul dalam acara diskusi Semarang Youth Now, yang diadakan Sekertariatan DPRD Kota Semarang bekerja sama dengan beberapa komunitas kesenian dan beberapa pelaku usaha kreatif di Lot 28 Cafe, Jalan Singosari No 28, Semarang, Kamis malam (17/1).
Keresahan muncul ketika banyak ruang yang dibangun pemkot ternyata tak sesuai dengan kebutuhan pelaku seni, pelaku usaha kreatif, dan generasi milenial di Kota Semarang. Selain itu, beberapa kegiatan kesenian yang dilaksanakan pemerintah daerah, juga bukan kebutuhan yang diharapkan mereka. Sebab, menurut beberapa pelaku kesenian, membangun seni budaya tidak bisa asal membuat macam-macam festival yang konsepnya hanya asal ramai. Parahnya lagi, komunitas pun dilibatkan hanya sebagai pengisi acara atau mendapat booth gratis untuk memajang karya.
Acara yang dihadiri beberapa “pentolan” komunitas seni dan budaya ini, juga mendatangkan beberapa pejabat Pemkot Semarang, seperti Kepala Dinas Komunikasi, Informatika, Statistik, dan Persandian Kota Semarang, Nana Storada, Wakil Ketua DPRD Kota, Agung Budi Margono, Kepala BLU UPTD Trans Semarang, Ade Bhakti Ariawan, dan beberapa pejabat lain. Diskusi pun berjalan menarik, beberapa keresahan dan persoalan yang dialami oleh komunitas anak muda ini disampaikan secara gamblang, karena diskusi memang dikemas “cair” dengan nuansa anak muda.
Eko organisator kegiatan dari Rumah Kreatif mengatakan, persoalan di Kota Semarang dari dulu adalah, tidak adanya benang merah antara pelaku dengan pemerintah. Menurutnya, perlu ada jembatan komunikasi sehingga apa yang dibutuhkan pelaku kebudayaan dan keenian, bisa terwadahi oleh pemerintah.
“Selama ini memang ada kendala, semacam ada sekat. Perlu ada aktivasi sinergisitas antara masyarakat dengan pemerintah. Sehingga apa yang dilakukan pemerintah seperti pembangunan ruang kesenian baru, bisa dimanfaatkan oleh pelaku kesenian. Hal itu butuh komunikasi, agar apa yang diinginkan masyarakat terwadahi,” tegasnya.
Dia menyayangkan, faslitas yang disiapkan pemkot dibangun dari sudut pandang pemangku kebijakan. Padahal, hal itu sudah tidak sesuai dengan kebutuhan para pelaku seni dan kreator yang ada di Kota Semarang yang kebanyakan anak muda. “Misalnya, kami para seniman handycraft memang kerap diajak pameran oleh pemkot. Tapi dalam pemaran itu dibarengkan dengan kerajinan batik dan kripik singkong. Padahal para pelaku seni handycraft di Kota Semarang ini kebanyakan anak muda, yang karyanya kontenporer,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Bintang, dari Yayasan Setara Semarang. Menurutnya, persoalan ruang memang menjadi sesuatu yang belum terjawab sejak beberapa tahun silam. Banyak kelompok kesenian yang hingga kini masih kesulitan mengakses ruang-ruang publik sebagai ruang berkesenian. Jikapun ada dan layak, ruang tersebut sudah berbayar dengan nilai sewa yang tidak sedikit.
“Di sinilah persoalan yang menyebabkan kesenian di kota ini seakan tak “hidup”. Kota Semarang sangat minim ruang berkesenian yang layak,” tegasnya.
Pemkot, katanya, memang menyiapkan wadah dengan membangun ruang-ruang berkesenian baru. Tapi persoalannya, pemkot tak menyiapkan jembatan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Sehingga semacam ada batas dan konektivitas yang terputus. Yang ada, wadah yang sudah dibangun bagus itu tidak ada yang memanfaatkan. “Banyak tempat-tempat berkesenian baru di Kota Semarang yang tak diketahui masyarakat. Bahkan kami baru tahu jika pemkot telah membangun ruang kesenian di Goa Kreo atau Waduk Jatibarang misalnya,” papar dia.
Mengulang Persoalan Soal Ruang

Persoalan ruang berkesenian yang minim, sebenarnya sudah menjadi persoalan lama di Kota Semarang. Keresahan tentang keberadaan ruang kreatif, sejak tahun 2000an sudah didengungkan oleh para pelaku seni di kota ini. Hanya saja, jawaban pemkot dengan membangun ruang-ruang baru seakan tak disiapkan dengan perencanaan yang baik, sehingga malah tak difungsikan oleh para pelaku kesenian. Misalnya pembangunan gedung Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) milik Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) di Kompleks Area Pekan Raya Promosi Pembangunan (PRPP) Kelurahan Tawangmas, Semarang Utara, yang kini mangkrak. Ada juga pembangunan Oudetrap Theatre di kawasan Kota Lama yang hingga kini belum maksimal pemanfaatannya. Tengok pula Taman Budaya Raden Saleh yang dibiarkan terlantar puluhan tahun tanpa program pengelolaan dan pembinaan yang baik.
Kadung terstempelnya Semarang sebagai kota perdagangan dan jasa, seolah membuat terpinggirnya seni dan budaya. Mungkin banyak pihak yang menolak anggapan ini. Namun bukti telah terpampang: Semarang miskin produk seni budaya.
Tari Gambang Semarang pun tak kunjung mendapat tempat terhormat sebagai kesenian khas kota ini. Jika tari ini dianggap merepresentasikan kota, dan faktanya memang jadi satu-satunya kesenian khas yang masih ada, tentu tidak cukup hanya jadi hiburan penyambut turis kapal pesiar di pelabuhan atau sesekali jadi pembuka acara seremonial.
Wakil Ketua DPRD Kota Semarang, Agung Budi Margono mengatakan, Semarang Youth Now memang digelar untuk mewadahi anak muda dari berbagai latar belakang, seperti desain grafis, musik, stand up, teater, BMX, dan lain-lain. Diakui, persoalan ruang kreasi menjadi salah satu bahasan yang mengemuka.
“Keguyuban dan kebersamaan memang diperlukan untuk pengembangan seni di Kota Semarang. Di acara ini tak ada sekat antar kelompok kreatif seniman dengan seniman lainnya, atau dengan pemerintah. Bisa saling menguatkan karena tujuannya untuk perkembangan kota. Peran pemerintah juga dibutuhkan sebagai pemersatu,” katanya.
Agung BM menambahkan, sebenarnya banyak ruang kreatif milik pemkot yang bisa dimanfaatkan kalangan muda ini. Bahkan jika kurang, katanya, Kota Semarang memiliki 380 shelter BRT, yang bisa menjadi ruang pamer alternatif bagi pelaku seni. “Dengan sinergisitas baru, jika bisa digarap kami yakin ruang-ruang alternatif ini akan jadi jawaban atas kebutuhan ruang kesenian di Kota Semarang. Tinggal bagaimana memanfaatkan itu, dan bisa koordinasi dengan pengelola BRT. Diskomfo juga sudah memberikan banyak ruang yang bisa dijadikan ruang-ruang komunikasi dan diskusi,” tegasnya.
Sementara Kepala Dinas Komunikasi, Informatika, Statistik, dan Persandian Kota Semarang, Nana Storada menegaskan, saat ini pemkot telah menyiapkan banyak ruang kreatif yang gratis bagi masyarakat. Di antaranya Pusat Informasi Publik (PIP) di kompleks balai kota, Semarang Digital kreatif (SDK) di Semarang Utara, kawasan Kota Lama, dan beberapa ruang lain. “Jika ada kendala mengakses ruang publik itu, bisa komunikasi dengan kami. Sebenarnya kami sudah berusaha membangun banyak tempat kesenian yang bisa dipakai gratis,” tegasnya.(HS)