DI tengah hiruk-pikuk kehidupan perkotaan, tren urban farming atau pertanian perkotaan semakin mengemuka, terutama di kalangan generasi muda Indonesia. Salah satu metode yang banyak dilirik adalah hidroponik, yang memungkinkan siapa pun untuk bercocok tanam di lahan terbatas, bahkan di pekarangan rumah. Di Semarang, semangat berkebun ini juga tumbuh subur, terlihat dari banyaknya komunitas petani milenial yang serius menggarap bidang pertanian, berusaha mengubah lahan tidur menjadi sumber pangan yang produktif.
Salah satu sosok yang berhasil meraih kesuksesan dalam bidang ini adalah Rahmatul Khafid (28), pemilik Bertani Agro Farm yang terletak di Sidodadi, Mijen. Dengan dedikasi dan inovasi, Khafid telah membuktikan bahwa hidroponik bukan sekadar tren, melainkan sebuah solusi cerdas untuk bertani di lingkungan urban.
“Setiap bulan, saya mampu memproduksi sekitar 2 ton sayuran hidroponik, terutama selada,” ungkap Khafid saat ditemui di Semarang Agro Expo di Balai Benih Pertanian, Kelurahan Tambangan Mijen. Selain selada, ia juga menanam berbagai jenis sayuran lainnya seperti bayam, kangkung, pak coy, dan sawi. Meskipun saat ini produksinya baru mencapai 300-400 pax per minggu—dari target 600 pax—Khafid tetap optimis. “Per pax dijual dengan harga Rp 7.000 untuk berat 250 gram,” tambahnya.
Salah satu keuntungan utama dari metode hidroponik adalah kecepatan proses tanam hingga panen. “Dengan hidroponik, perputaran tanam jauh lebih cepat. Jika menggunakan tanah, setelah panen tanah harus diolah dan didiamkan beberapa minggu sebelum bisa ditanami kembali,” jelasnya. Metode ini jelas memberikan efisiensi yang sangat dibutuhkan di tengah permintaan sayuran yang terus meningkat.
Namun, Khafid juga mengakui bahwa masih banyak petani yang memilih metode konvensional. “Setiap pembudidaya memiliki cara dan pengelolaan lahan masing-masing. Saya sendiri lebih memilih hidroponik karena perawatannya yang lebih sederhana. Misalnya, saya tidak perlu menyiram setiap hari, dan pemberian pupuk bisa langsung ke air yang digunakan untuk tanaman,” paparnya.
Dengan lahan seluas 7.000 meter persegi, Khafid kini dibantu oleh lima karyawan untuk memproduksi sayurannya setiap hari. Ia memulai perjalanan ini pada tahun 2019 dengan hanya 90 lubang tanam di meja berukuran 1 meter x 2 meter. Kini, jumlahnya telah berkembang pesat hingga mencapai 40.000 lubang.
Sayuran hidroponik hasil produksinya dipasarkan di area Semarang, dengan permintaan yang terus meningkat. “Kami menyuplai sejumlah toko sayuran dan buah segar, serta restoran di kota Semarang. Banyak juga pembeli yang datang langsung ke kebun kami,” ujar Khafid dengan bangga.
Dengan menekuni usaha ini, Khafid mengungkapkan bahwa pendapatan yang ia peroleh cukup menjanjikan, dengan rata-rata pendapatan kotor mencapai sekitar Rp 50 juta per bulan. “Itu belum bersih, karena masih ada biaya produksi, gaji karyawan, dan lainnya. Namun, saya cukup puas dengan hasilnya,” pungkasnya.
Melalui kisah Rahmatul Khafid, kita melihat bagaimana urban farming hidroponik bukan hanya sekadar hobi, tetapi juga peluang bisnis yang menjanjikan. Di tengah tantangan urbanisasi dan kebutuhan pangan yang terus meningkat, inovasi seperti yang dilakukan Khafid bisa menjadi solusi untuk menciptakan ketahanan pangan di kota-kota besar, sambil membangkitkan semangat generasi muda untuk kembali ke pertanian.(HS)