in

Baru Hujan Sehari Langsung Banjir: Sinyal Alam atau Rencana Kota yang Salah Channel?

Foto ilustrasi banjir (dok/AI).

HUJAN deras mengguyur Semarang kemarin malam, Selasa, 21 Oktober 2025, setelah musim kemarau yang panasnya tak terkira. Tapi begitu tetesan hujan pertama dengan intensitas tinggi jatuh, beberapa sudut kota langsung berubah jadi kolam renang raksasa.

Jalan Kaligawe tergenang hingga 20 sentimeter, membuat pengendara motor berubah jadi perenang dadakan, sementara Pantura Semarang-Demak macet total karena air naik.

Beberapa titik genangan muncul seketika, dari depan SPBU Kaligawe sampai rel kereta api, seolah alam punya agenda tersendiri untuk menguji kesabaran warga. Setelah berbulan-bulan panas menyengat, hujan pertama ini langsung menyapa dengan banjir. Sungguh sambutan hangat dari langit.

Kota Semarang, pelabuhan tua yang bangga dengan sejarah maritimnya, tampaknya punya hubungan rumit dengan air. Setiap musim hujan tiba, reaksi pemerintah daerah dan warga serupa: kaget luar biasa.

Padahal, banjir sudah jadi tamu tetap sejak lama. Curah hujan tinggi memang jadi alasan klasik, tapi tambahkan sedimentasi sungai, sampah yang mampet di drainase, dan perubahan lahan di hulu, buruknya sistem drainase, maka resep banjir sempurna.

Ironisnya, kota yang dibangun di tepi laut ini seolah baru sadar bahwa air bisa datang dari mana saja. Warga di Genuk dan sekitarnya terjebak genangan, telat kerja, dan harus berjuang melewati air yang mendekati lutut. Sementara itu, para pejabat sibuk menggelar rapat darurat, seolah banjir ini kejutan ulang tahun yang tak terduga.

Lihat saja proyek pengendali banjir yang muncul setiap tahun. Pompa air dipasang di titik rawan, seperti di hilir sungai besar, seperti Sungai Banger, Sungai Banjir Kanal Barat dan Timur, untuk menyedot genangan secepat kilat.

Tapi anehnya, pompa-pompa itu bekerja overtime setiap hujan deras, dan tahun depan dipasang lagi yang baru karena yang lama entah kenapa rusak atau kurang kuat. Bayangkan pompa itu sebagai pahlawan capek yang dipanggil ulang tanpa istirahat.

Kemudian ada isu sampah. Setiap banjir, sungai dan drainase penuh plastik dan limbah rumah tangga, menyebabkan air meluap ke jalan. Kampanye “buang sampah pada tempatnya” digelar rutin, tapi sampah tetap menumpuk. Mungkin sampah-sampah itu punya jiwa petualang, selalu kabur ke sungai untuk liburan.

Tak ketinggalan, pembuatan tanggul dan perbaikan saluran drainase. Tanggul rob dibangun megah di kawasan pesisir untuk menahan air laut yang naik. Bagus sekali, tapi setiap musim hujan, tanggul itu seolah cuma hiasan karena banjir dari hulu tetap datang.

Drainase diperbaiki tahun lalu, tapi tahun ini rusak lagi karena ambrol atau karena sedimentasi. Proyek ini berulang bagai lagu hits yang tak pernah pensiun.

Evaluasi mendalam? Sepertinya cuma catatan di kertas yang hilang di laci. Kerugian banjir mencapai Rp 1,5 triliun per kejadian besar, tapi anggaran proyek tahunan terus mengalir tanpa perubahan besar.

Ironis, kota yang maju dengan gedung tinggi dan mal mewah ini masih bergulat dengan masalah dasar air.

Warga Semarang sudah hafal pola ini. Panas menyiksa berbulan-bulan, lalu hujan pertama datang dengan banjir. Di media sosial, keluhan bermunculan: “Semarang panasnya neraka, hujan banjir kabeh,” tulis salah satu pengguna X.

Lalu lintas macet parah di Pantura, kereta api terganggu, dan rumah-rumah tergenang. Tapi setiap tahun, reaksi sama: pompa dinyalakan, tanggul dicek, dan janji perbaikan drainase diumumkan setelah para pejabatnya “seolah” isnpeksi mendadak dengan pengawalan lengkap. Mungkin ini rencana kota yang salah channel, di mana sinyal alam diabaikan demi proyek sementara.

Dalam hiruk-pikuk ini, ada sisi lucu yang tak bisa dihindari. Bayangkan Semarang sebagai aktor dalam sinetron abadi berjudul “Banjir Datang Lagi”. Setiap episode, pemeran utama kaget, lalu berjanji memperbaiki, tapi musim selanjutnya cerita berulang.

Sampah jadi aktor jahat, pompa pahlawan lelah, dan warga penonton yang capek tapi tetap setia.

Tapi di balik tawa, ada pelajaran: banjir bukan cuma urusan alam, tapi hasil pengelolaan yang perlu dibenahi sungguh-sungguh.(Tulisan ini disempurnakan oleh AI-HS)

Peringati Hari Santri Nasional, Ribuan Warga Antusias Mengikuti Jateng Bersholawat di Kudus

Dari Gelandangan Jadi Sopir Pribadi, Harapan yang Tumbuh di Panti Mardi Utomo