DI sebuah perumahan di Malang, apa yang dimulai sebagai keluhan sepele soal lahan parkir kini berubah menjadi persoalan panjang yang menyedot perhatian jutaan mata di layar ponsel.
Ya, konflik antar-tetangga tiba-tiba jadi fenomena yang melibatkan emosi banyak orang, bahkan bisa dikatakan skala nasional.
Bukan cerita fiksi, tapi kenyataan pahit yang direkam dan disebar lewat TikTok. Mohammad Imam Muslimin, atau yang lebih dikenal sebagai Yai Mim, mantan dosen Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, tiba-tiba jadi bintang tak diinginkan gara-gara ribut dengan tetangganya, Nurul Sahara.
Semuanya bermula dari mobil-mobil rental milik Sahara yang kerap parkir disinyalir sebagai tanah wakaf, lahan yang sejak dulu dipakai warga sebagai jalan pintas.
Yai Mim, yang rumahnya bersebelahan, merasa terganggu. Bukan cuma soal ruang, tapi juga soal hak. “Ini tanah wakaf, bukan tempat parkir sewaan,” katanya suatu hari, dalam sebuah video pendek yang viral di media sosial.
Tak lama, suara itu berubah jadi jeritan di video viral, diikuti banyak komentar nitrizen yang sebenarnya tak tahu problem aslinya.
Sahara unggah rekaman cekcok mereka, lengkap dengan tudingan balik soal pelecehan dan gangguan. Yai Mim balas dengan klarifikasi, tapi sudah terlambat, netizen sudah memihak, komentar membanjir seperti banjir bandang di musim hujan.
Ada yang bela Yai Mim, ada pula yang sindir Sahara sebagai pengusaha rental yang tamak, ada pula yang dukung Sahara. Eskalasi cepat, saling lapor polisi atas dugaan pencemaran nama baik, mediasi RT/RW gagal, bahkan warga sekitar ikut campur dengan aksi usir malam-malam.
Yai Mim akhirnya mundur dari kampusnya, istri merasa malu berat, dan Sahara? Bisnis rentalnya ambruk, omzet turun drastis karena boikot medsos. Ironis, yang tadinya tetangga dekat, kini seperti musuh bebuyutan di film laga Hollywood, tapi alat senjatanya bukan pistol, melainkan tombol share.
Pindah sedikit ke timur, di Kota Semarang, cerita serupa lagi-lagi bikin geleng-geleng kepala. Ari Setiawan, warga biasa di Perumahan Sinar Waluyo, Kelurahan Kedungmundu, Kecamatan Tembalang, tiba-tiba berubah jadi artis dadakan.
Ia pasang pagar seng raksasa untuk blokir jalan akses antar-gang, yang sejak lama dipakai ratusan warga. Alasannya, keamanan pribadi. Takut maling lewat, mengantisipasi lalu lalang motor ugal-ugalan, atau mungkin sekadar ingin privasi ala raja kerajaan kecil.
Hasilnya? Video pagar itu langsung meledak di Instagram dan TikTok, dengan caption-caption pedas seperti “Tetangga atau penjaga penjara?”
Satpol PP gerak cepat, bongkar pagarnya dalam sehari. Tapi Ari tak kapok, ia ganti dengan pagar kawat yang lebih licin dibongkar. Warga protes ke wali kota, surat terbuka beredar, dan ultimatum datang: buka dalam tujuh hari atau hadapi sanksi.
Jalan umum yang lebarnya cukup untuk dua mobil kini jadi medan perang sipil mini. Ari berdalih melindungi rumah, tapi tetangganya bilang itu egois, seperti bangun tembok Berlin di gang sempit.
Netizen ramai, ada yang bilang “Ini Indonesia banget, ribut kecil jadi isu nasional,” sementara media massa ikut-ikutan “nimbrung” dalam konflik antar-tetangga ini.
Bukan cuma dua kasus ini yang bikin timeline medsos penuh hiruk-pikuk. Di berbagai sudut negeri, cerita tetangga ribut sudah jadi genre tersendiri. Ingat kasus di Jakarta Utara tahun lalu, di mana seorang ibu rumah tangga viral gara-gara tuduh tetangga curi sinyal WiFi? Atau di Bandung, di mana suara karaoke malam hari berujung pada aksi lempar batu virtual lewat story WhatsApp?
Bahkan di Bali, konflik soal pohon kelapa yang jatuh ke halaman tetangga sempat trending, dengan komentar ribuan soal “Siapa yang bayar petirnya?”
Semua bermula dari hal kecil: parkir sembarangan, suara bising, atau sekadar tatapan sinis saat pagi jemput anak. Tapi begitu masuk medsos, boom..! Jadi pesta rakyat.
Video pendek berdurasi 15 detik bisa bikin reputasi hancur, bisnis tutup, atau bahkan polisi turun tangan.
Apa yang bikin fenomena ini meledak? Sederhana: medsos ubah gang belakang jadi panggung Broadway.
Dulu, ribut tetangga selesai dengan secangkir teh panas dan omongan Ketua RT. Kini, satu unggahan video bisa tarik ribuan like, tapi juga ribuan hujatan.
Ironinya, korban pertama sering yang paling lemah: anak kecil yang tak tahu apa-apa tapi kena dampak, atau CCTV yang hanya diam tiba-tiba jadi saksi kunci.
Yai Mim kehilangan jabatan dosen, Sahara dapat teror telepon, Ari dapat surat peringatan dari pemerintah daerah.
Individualistis
Tapi fakta, satu pagar seng bisa bikin warga mogok kerja, satu video cekcok bisa picu demo kecil-kecilan, dan satu masalah kecil bisa bikin Indonesia “gempar”.
Lihat saja data dari platform medsos, di TikTok saja, tagar #KonflikTetangga sudah capai jutaan views sepanjang 2025. Bukan angka kosong, tapi cermin masyarakat yang semakin individualis.
Tetangga tak lagi saudara dekat, tapi kompetitor di lahan sempit. Parkir satu mobil saja bisa picu perang dunia ketiga versi mikro. Dan medsos? Ia seperti bensin di api unggun: bikin semuanya membara cepat, tapi abunya meninggalkan luka gosong.
Coba pikir ulang, apa jadinya kalau kita balikkan naskahnya? Daripada saling rekam dan lapor, kenapa tak rekam momen baik, seperti bagi-bagi kue saat Lebaran atau gotong royong bersih-bersih got?
Di akhir cerita Yai Mim dan Sahara, ada titik terang: Sahara minta maaf secara terbuka, dan Yai Mim pilih jual rumah untuk damai.
Ari di Semarang? Masih berproses, tapi warga sudah rencanakan rapat damai dengan kopi dan gorengan.
Siapa tahu, dari situ lahir legenda urban: tetangga yang dulu musuh, kini sahabat ngopi.
Karena pada akhirnya, gang sempit itu rumah kita semua, bukan benteng perang, tapi tempat pulang yang hangat. Dan tetangga, adalah orang yang akan kita repotkan saat bendera kuning harus dipasang di ujung gang.
Kalau tidak segera menyadari, besok pagi, video selanjutnya bisa tentang Anda.(Tulisan ini disempurnakan oleh AI-HS)


