in

Mimpi ke Piala Dunia Buyar, Dari Disiplin Korea ke Drama Belanda

Foto ilustrasi AI.

PAGI ini, udara di Indonesia seakan terimbas angin gurun padang pasir yang ada di Arab Saudi, berhembus kencang sampai ke hati suporter Timnas.

Kabar kekalahan Timnas Indonesia dengan skor 0-1 melawan Irak pada laga kedua Grup B fase keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026, Minggu (12/10/2025) dini hari WIB, membuyarkan mimpi dan harapan Skuad Garuda untuk bisa lolos ke Piala Dunia 2026.

Dua hari sebelumnya, pada 9 Oktober 2025, Rizki Ridho dan kawan-kawan juga menelan kekalahan 2-3 dari Arab Saudi di Stadion King Abdullah Sports City, Jeddah.

Seolah-olah ini bukan tentang sepak bola, tapi soal plot twist sinetron lokal, naik-turun, dan berakhir dengan air mata, bukan kebahagiaan.

Dan di balik layar, pengurus PSSI berdiri tegak, tangan di saku, seolah bilang, “Kita sudah coba yang terbaik.”

Yang terbaik? Mari kita urai kisah panjang ini, dari mimpi setinggi langit sampai jatuh ke pasir gurun.

Perjalanan Timnas menuju Piala Dunia 2026 memang seperti harapan warga di TPS Pemilu Pilkada untuk mendapatkan pemimpin terbaik, tapi seringkali nyasar. Mulai dari era naturalisasi, PSSI seperti pedagang pasar yang rajin impor barang bagus dari negeri jauh.

Pemain keturunan datang berbondong-bondong, dari Belanda sampai Australia, bawa skill ala Eropa tapi lidah tak fasih berbahasa Indonesia.

Mereka ini bukan cuma tambal sulam, tapi seperti menambahkan rempah ke masakan hambar. Tanpa mereka, skuad mungkin masih bergantung pada talenta lokal yang kadang lebih jago lari kencang dibanding passing bola ke kawan.

Hasilnya? Timnas naik kelas, dari tak diperhitungkan di level Asia jadi penantang serius. Siapa sangka, anak cucu orang tua yang dulu dinikahi atau dibawa meneer Belanda, sekarang jadi “pahlawan”.

Tapi, ironinya, naturalisasi ini seperti pinjam tetangga: bagus buat hari ini, tapi besok harus bayar bunga berupa adaptasi budaya, dari cuaca panas Jakarta sampai dinginnya stadion Eropa.

Lalu ada urusan pelatih, yang seperti memilih dokter gigi: salah pilih, bayarnya mahal, sakitnya dobel.

Shin Tae-yong datang dari Korea Selatan pada akhir tahun 2019 seperti pahlawan komik, bawa disiplin ala militer dan taktik yang bikin lawan pusing. Di bawahnya, Timnas bukan lagi tim yang main asal tendang dan berlari kencang, tapi seperti harmoni yang rancak.

Performa positif itu nyata. Kemenangan meski dengan skor tipis tapi berarti. Poin demi poin, harapan demi harapan dikumpulkan, dan suporter mulai bernyanyi keras di acara nobar (nonton bareng) yang dilaksanakan di hampir seluruh sudut negeri.

Shin bukan cuma latih fisik, tapi juga mental dan etos, membuat pemain lokal percaya diri, campur dengan skill pemain keturunan, jadi satu kesatuan, “pejuang di lapangan”.

Sistem kompetisi juga ikut dibenahi, dari liga domestik yang dulu seperti turnamen kampung jadi lebih teratur, dengan jadwal padat tapi fair. Liga 1 dan 2 mulai punya standar, VAR, wasit berkualitas, dan klub-klub belajar bahwa investasi di akademi bukan cuma buat pajangan trofi.

Nah, di sinilah plotnya berbelok liar, seperti sopir angkot yang tiba-tiba ambil jalan tikus. PSSI, entah kenapa, memutuskan ganti Shin Tae-yong dengan Patrick Kluivert dari Belanda, mantan striker legendaris yang kini lebih dikenal sebagai ayahnya Justin Kluivert daripada pelatih ajaib.

Pengumuman itu keluar awal 2025 lalu, saat Timnas lagi on fire. Alasan resmi? “Butuh angin segar,” katanya.

Segar? Seperti minum es teh tawar saat haus panas. Kluivert datang dengan CV mengkilap, pemain top di Ajax, Barcelona, Milan, tapi pengalaman jadi pelatih? Silakan googling sendiri..

Sorotan langsung mengalir deras, seperti hujan di musim kemarau. Apalagi rumor tentang persoalan pribadi sang pelatih, judi.

Kenapa ganti pelatih yang lagi bagus? Mungkin PSSI pikir, “Shin Tae-yong terlalu Asia, kita butuh sentuhan Eropa yang lebih… glamor.”

Ironi Besar

Shin, dengan gaya hemat dan efektif, bikin Timnas seperti tim underdog yang mulai bisa “gigit leher lawan”. Kluivert? Lebih seperti pesta dansa di mana semua orang sibuk pose, tapi bola nggak masuk gawang.

Transisi dari Shin ke Kluivert nggak mulus, seperti pindah rumah tanpa kardus. Pemain keturunan dan lokal yang biasa latihan keras ala Korea, tiba-tiba harus adaptasi dengan gaya Belanda yang lebih banyak diskusi di pinggir lapangan daripada drill fisik.

Dan hasilnya? Dua laga kualifikasi babak keempat langsung jadi mimpi buruk.

Lawan Arab Saudi di King Abdullah Sports City, Indonesia keok dengan skor 2-3. Suporter di layar kaca sampai ada yang lempar remote, karena laga itu seperti menang lotre tapi nomornya salah satu digit.

Dua hari kemudian, 11 Oktober 2025, giliran Irak yang menyudahi harapan, skor 0-1 jadi mimpi buruk pecinta sepak bola Indonesia. Stadion di Jeddah yang sama, suasana sama-sama panas, tapi kali ini Garuda nggak cuma kalah, tapi juga tutup pintu peluang lolos langsung atau lewat playoff. Posisi di Grup B ambruk, poin minim, dan ada di dasar klasemen.

PSSI seperti koki yang ganti resep dengan eksperimen aneh. Naturalisasi yang dulu jadi senjata rahasia kini terasa sia-sia, karena pelatih baru nggak bisa maksimalkan potensi.

Pemain lokal seperti Pratama Arhan, Rizki Ridho, Ricky Kambuaya, atau Marselino Ferdinan, yang di bawah Shin mulai bersinar, kini seperti bintang tamu di film sendiri, ada, tapi nggak dominan.

Sorotan publik nggak main-main; hashtag #KluivertOut langsung trending, suporter ramai di media sosial, sampai karikatur meme Erick Thohir pegang tongkat sulap yang malah meledak.

Di balik tawa getir ini, ada pelajaran sederhana: sepak bola Indonesia butuh konsistensi, bukan ganti-ganti seperti ganti baju. Naturalisasi bagus, asal ada pelatih yang paham cara campur bumbu lokal dengan impor.

Kompetisi domestik harus terus digas, biar bibit muda nggak cuma jadi penonton. Pilih pelatih yang cocok dengan karakter pemain, bukan yang nama besarnya bikin headline.

Kluivert mungkin legenda sebagai pemain, tapi sebagai nahkoda, ia seperti kapten kapal yang lupa baca peta. Mungkin, dia lebih jago untuk “ngetoh” prediksi tog3l dibanding jadi peracik strategi di lapangan hijau.

Malam nanti, sebelum tidur mari kita angkat gelas, bukan untuk menangis, tapi untuk toast masa depan. Mungkin besok ada pelatih baru yang bawa taktik ala sambel geprek: pedas, panas, dan bikin lawan minta ampun.

Siapa tahu, Piala Dunia 2030 nanti kita nggak cuma nonton di TV, tapi teriak di stadion bersama-sama menyanyikan lagu NTRL “Garuda di Dadaku”.(Tulisan ini disempurnakan oleh AI-HS)

Immoderma Berikan Edukasi Gen Z untuk Tampil Glowing dan Sehat

Anggota Pemuda Pancasila Kota Semarang Bersihkan Sungai Sekaligus Bersihkan Citra