in

Gol Dijual Eceran: Saat Sepak Bola Kita Lebih Ramah Sama Bandar Daripada Suporter

Foto ilustrasi AI.

PSIS akan menghadapi Persipal (Palu) pada pekan kelima Championship 2025/2026 sore ini. Duel keduanya diprediksi akan berjalan ketat mengingat kedua tim sama-sama mengincar kemenangan pertama musim ini. Laga Persipal vs PSIS akan berlangsung di Stadion Gawalise, Palu, Sabtu (11/10/2025) mulai pukul 14.30 WIB.

Tapi, sebelum peliut tanda dimulainya laga dibunyikan wasit, udara sudah panas karena bisikan digital. Sebuah rekaman suara bocor yang diunggah di Instagram @forum_wasit_idn, menampilkan suara yang terdengar seperti negosiasi pasar malam: oknum tak dikenal diduga hendak mengkondisikan wasit dengan tujuan pengaturan skor.

Belum ada konfirmasi resmi dari PSSI atau pengelola liga, apakah itu rekaman asli atau hasil rekayasa canggih, tapi cukup untuk membuat timeline media sosial berubah jadi arena gosip ala sinetron. Dua tim yang kalah di pekan sebelumnya, kini jadi pusat perbincangan bukan karena taktik, melainkan dugaan keterlibatan dengan bandar judi internasional.

Rekaman itu singkat, tapi padat makna. Suara pria dengan aksen campur aduk berbicara soal rencana pengkondisian laga. Pendengarnya? Diduga seorang pria dengan panggilan “Sultan”, meski wajah tak terlihat dan suara tak terdengar.

@forum_wasit_idn, akun yang biasa mengkritik keputusan sang pengadil, kali ini melempar bom waktu tepat sebelum kick-off. Responsnya, banjir komentar: ada yang marah, ada yang ketawa sinis, dan sisanya buru-buru buka aplikasi taruhan online. Ironis, sepak bola yang seharusnya soal keringat dan tendangan ke gawang, tapi di sini, ia jadi alat untuk mengisi dompet orang asing.

Isu ini seperti tamu tak diundang yang datang lagi setelah liburan panjang.

Kembali ke masa lalu, tepatnya 1962, saat Timnas Indonesia bertanding melawan Thailand di Stadion Senayan Jakarta. Sepuluh pemain diduga terima suap agar kalah, demi judi yang mengalir deras.

Skandal itu meledak, meninggalkan noda hitam di sejarah kita, bukan karena gol yang hilang, tapi karena kepercayaan yang lenyap. Lalu, lompat ke 1988: pertemuan Indonesia versus Thailand lagi, kali ini berakhir 0-0 yang aneh banget.

Gol-gol hilang, peluang sia-sia, seolah lapangan penuh gajah tak kasat mata yang menghalangi bola dari pemain kedua kesebalasan. Maka lahirlah istilah “sepak bola gajah”, julukan yang masih bikin suporter geleng-geleng kepala sampe sekarang.

Sepuluh tahun kemudian, 1998, mafia wasit Liga Indonesia terbongkar. Wasit-wasit jadi bintang utama, bukan karena keputusan adil, tapi karena amplop tebal yang mereka terima. Klub-klub besar terseret, liga sempat lumpuh, dan PSSI sibuk membersihkan puing-puing reputasi.

Dari era hitam itu, kita pikir sepak bola sudah dewasa. PSSI bentuk satgas anti-mafia, regulasi diperketat, bahkan sanksi pidana diatur dalam UU No. 11 Tahun 1980 soal suap. Tapi, seperti lagu lama yang diputar ulang, kasus muncul lagi.

Masih ingat kah, pertandingan antara PSS melawan PSIS di Divisi Utama Liga Indonesia pada 26 Oktober 2014 di Yogyakarta menjadi memori kelam bagi sepak bola Tanah Air. Para pemain justru berlomba-lomba menjebol gawangnya sendiri. Lima gol yang tercipta dalam pertandingan tersebut merupakan hasil bunuh diri, sehingga disebut sebagai sepak bola gajah.

Tahun 2018, Liga 2 kembali diguncang pengaturan skor melibatkan delapan tersangka, termasuk Vigit Waluyo yang akhirnya dipenjara lima bulan.

Kini, 2025, giliran Persipal dan lagi-lagi PSIS yang diguncang isu pengaturan skor.

Apa yang bikin kasus-kasus ini abadi? Uang, tentu saja. Bandar judi internasional, dari Manila, Singapura, Kamboja, sampai Macau, disinyalir sudah hafal pola kita.

Mereka tak perlu datang ke stadion; cukup kirim pesan WhatsApp atau transfer. Runner atau peluncur siap mengkondisikan laga-laga di dalam negeri. Peluncur tersebut diduga orang lokal yang sudah paham betul tentang sepak bola Indonesia, siapa pemain, manajemen, tim, atau pelatih yang bisa “dikondisikan”.

Bokong Lawan

Hiperbola sedikit: bayar, eh, maaf, tawarkan, Rp 50 juta sampai ratusan juta untuk gol palsu, dan pertandingan berubah jadi teater murahan. Pemain yang seharusnya menendang bola malah sengaja menendang bokong lawan, atau wasit angkat bendera offside untuk pelanggaran yang tak ada, dan pelatih pura-pura marah sambil tersenyum dalam hati. Teknologi VAR? cukup buat hiasan biar liga terkesan serius.

Suporter, mereka bayar tiket mahal untuk nonton drama yang sudah ditulis skripnya di ruang VIP bandar.

PSSI sudah bergerak. Komdis siap selidiki rekaman itu, mungkin panggil saksi, tes forensik suara. Tapi, seperti membersihkan pantai setelah tsunami, puing-puing judi selalu datang lagi.

Regulasi Pegadaian Championship 2025/26 tegas bilang: tak boleh terlibat match fixing atau judi apa pun.

Sanksinya pengurangan poin, denda, bahkan larangan main.

Tapi, efeknya? Klub kecil yang budgetnya pas-pasan, tergoda imbalan instan. PSIS, dengan sejarah panjang di Semarang, seharusnya jadi teladan, tapi gosip ini bikin mereka terlihat seperti korban plot twist buruk, apalagi pernah punya masa lalu buruk di tahun 2014.

Ironisnya, di saat Timnas Indonesia sedang teriak lantang menargetkan Piala Dunia, liga lokalnya diduga justru seperti lapangan latihan bagi para bandar. Kita bicara soal visi besar: ranking FIFA naik, pelatih asing, training camp ke Eropa, jersey baru yang kece di TikTok, naturalisasi, tapi lupa bahwa bola di negeri ini sering berhenti di ujung amplop, bukan di garis gawang.

Lucu, tapi menyedihkan, di tengah sorak “Garuda Mendunia”, nyatanya gol di liga domestik diduga masih bisa dijual eceran. Kadang lewat kode rahasia di grup WhatsApp, kadang lewat senyuman tipis di parkiran hotel tim.

Dan sementara PSSI sibuk bikin slogan “Clean Match, Fair Play”, realitas di lapangan seperti parodi. Stadion megah dibangun, tapi moral sebagian pemain dan ofisial malah direnovasi oleh bandar.

Kalau begini terus, cita-cita Piala Dunia tinggal bahan meme. Karena untuk bisa tampil di ajang tertinggi, kita harus punya liga yang jujur dulu, bukan yang lihai berhitung skor palsu.(Tulisan ini disempurnakan AI-HS)

75 Pengajar SMP di Semarang Dilatih Membuat Konten Menarik untuk Media Sosial Sekolah

Job Fair Kudus 2025, Diikuti 20 Perusahaan, Tersedia 1.401 Lowongan Kerja