Setiap hari, Santoso dan timnya mengenakan alat pelindung kerja yang lengkap: sarung tangan, masker, sepatu bot, serta seragam khusus. Proses pemilahan sampah dimulai dengan menimbang setiap kantong dan mencatatnya dalam buku laporan. Mereka kemudian mengeluarkan sampah dari karung, menyiapkan alas berbahan plastik untuk memisahkan sampah organik dan anorganik. Dengan cepat, sampah-sampah tersebut dipilah dan dimasukkan ke dalam kantong plastik sesuai jenisnya. Sampah anorganik, seperti botol air mineral, kaleng, dan besi, ditempatkan dalam satu kantong, sementara sisa makanan yang terdiri dari nasi, lauk pauk, dan kue dimasukkan ke dalam kantong lainnya.
“Setelah dipilah, sampah-sampah ini akan diolah kembali atau dikumpulkan untuk didaur ulang. Kami memiliki laporan untuk setiap jenis sampah, termasuk limbah B3 yang tercatat setiap harinya,” jelas Santoso, sembari terus bekerja.
Setiap harinya, mereka mengolah minimal 100 kilogram sampah yang masuk dari aktivitas operasional bandara. “Sampah organik di sini dimanfaatkan sebagai sumber makanan magot, sedangkan sampah anorganik akan didaur ulang,” tambahnya.
Budidaya magot yang mereka lakukan tidak hanya menguntungkan, tetapi juga berkontribusi terhadap lingkungan. “Sisa makanan magot bisa digunakan sebagai pupuk, sementara magotnya sendiri bisa menjadi pakan ternak,” ungkap Santoso.
Sejak terjun dalam pengolahan sampah di bandara pada tahun 2023, Santoso mengaku banyak pengalaman berharga yang ia dapatkan, meski ada suka dan duka. “Sukanya, saya belajar bahwa sampah ternyata bisa bernilai ekonomis. Selain itu, kami juga membantu menjaga kebersihan lingkungan sekitar bandara agar tetap bersih dan bebas polusi. Dengan cara ini, kami mendukung program go green pemerintah,” tuturnya.
Namun, tidak semua pengalaman itu mudah. “Dukanya, tidak semua sampah yang kami temui bersih. Proses pemilahan menjadi lebih rumit saat kami berhadapan dengan sampah organik basah. Prosesnya jadi lebih lama dan kotor karena bercampur dengan air dan potongan plastik,” keluh Santoso.
Santoso berharap masyarakat juga mau berpartisipasi dalam pemilahan sampah di lingkungan keluarga. “Setidaknya, saat membuang sampah, masukkan ke dalam tong sampah sesuai jenisnya,” pesannya.
General Manager Bandara Jenderal Ahmad Yani Semarang, Fajar Purwadidada, menambahkan bahwa bandara ini menghasilkan rata-rata 14.994 kilogram atau 14,9 ton sampah per bulan dari aktivitas operasional. “Kami berhasil mengelola sekitar 8.902 kg atau 52 persen dari total sampah, yang mengurangi volume sampah yang dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Dari jumlah itu, sekitar 27 persen adalah sampah organik yang dikelola melalui budidaya maggot, sementara sampah organik kering seperti daun dan rumput diolah menjadi kompos,” paparnya.
Adapun pengelolaan sampah PT Angkasa Pura I Kantor Cabang Bandara Internasional Jenderal Ahmad Yani Semarang mengandeng atau berkolaborasi dengan masyarakat sekitar, yakni Pegiat Magot Puhon Indonesia Lestari untuk pengembangan pengelolaan sampah dengan budidaya magot. Pihak bandara sebelumnya juga memberikan bantuan CSR kepada Puhon Indonesia Lestari dengan harapan untuk lebih mengembangkan teknologi pengelolaan sampah dengan budidaya magot sebagai pengurai sampah organik. Puhon Indonesia Lestari merupakan masyarakat pegiat magot dimana mereka telah mengelola sampah organik menggunakan magot yang dapat dipergunakan untuk pakan ikan dan unggas.
Fajar menambahkan, jika bantuan tersebut telah digunakan untuk penyediaan peralatan budidaya magot, alat pengolah sampah dan alat transportasi pengambilan sampah di Bandara.
“Pengolahan sampah dengan budidaya magot ini dapat mengurangi sampah organik yang di kirim ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), prosesnya yaitu melalui pembiakan lalat Black Soldier Fly (BSF) dimana telurnya dapat menghasilkan magot (belatung) untuk mengurai sampah organik,”katanya.
“Memang magot ini difungsikan sebagai mengurai sampah organik yang terbuang seperti sisa nasi, lauk, roti dari terminal penumpang yang telah dipisah, lalu diurai dengan maggot. “Dari mulai telur maggot yang menetas menjadi bayi manggot mulai makan walau sedikit, setelah maggot dewasa makannya sebanyak 1 setengah kali dari berat tubuhnya, dan proses penguraian paling cepat jika memakai cacing untuk urai sampah organik,”timpal, Airport Environment Departement Head, Sapta Helani, baru-baru ini.
Namun, budidaya maggot di bandara saat ini belum bertujuan komersil, dan murni untuk mengolah limbah dari bandara, mengingat sampah organik basah yang dihasilkan dari bandara masih minim.” Sehingga hanya digunakan pihak bandara untuk memberi makan ikan di taman dan juga untuk memupuk tanaman di lingkungan bandara,”katanya.
Berkat penerapan konsep Eco Airport, Bandara Jenderal Ahmad Yani Semarang meraih juara satu dalam lomba LAMPAH KITA tingkat kota Semarang pada tahun 2023. Penghargaan ini diberikan kepada instansi yang berhasil membantu mengurangi sampah di kota Semarang, yang rata- rata menghasilkan sampah sudah mencapai 1.200 ton per hari.
Harapannya dengan semua indikator dan kriteria penilaian sudah terapkan secara rutin dan terstruktur sesuai dengan SOP pengelolaan sampah di bandara akan berdampak positif ini bisa terasa tidak hanya di bandara, tetapi juga bagi lingkungan sekitar.
Dengan dedikasi Santoso dan timnya, dukungan dari manajemen bandara, serta berkolaborasi dengan masyarakat pegiat magot ini harapan untuk menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan berkelanjutan semakin mendekati kenyataan.(HS)