in

Pasar Kambing Semarang, Pernah Jadi Salah Satu Sentra Jual-beli Kambing di Jateng

Patung berbentuk kambing setinggi 50 sentimeter yang mulai usang itu sebagai identitas di mana tempat itu dulunya merupakan sentra kambing di Semarang.

 

TEPAT di pertigaan Jalan MT Haryono, Jalan Dokter Wahidin, dan Jalan Tentara Pelajar ada sebuah patung kambing yang berdiri di pinggir jalan.

Patung setinggi 50 sentimeter yang mulai usang itu masih berdiri tegak di sudut pertigaan yang dulu bernama Jalan Mrican itu. Patung kambing tersebut dulu dibangun sebagai identitas lokasi, di mana tempat itu merupakan Pasar Kambing terbesar di Kota Semarang, dan pernah jadi salah satu sentra perdagangan kambing Jawa Tengah.

Bahkan sekitar tahun 1980 sampai tahun 1990 awal, pasar ini pernah mengalami perkembangan pesat. Pada masa puncak jayanya, tempat ini dikenal luas dan telah jadi identitas di wilayah tersebut. Apalagi saat menjelang Idul Adha, ribuan kambing diperjual belikan di pasar itu. Tak hanya dari sekitar Semarang, pedagang yang datang berasal dari berbagai wilayah, seperti Grobogan, Magelang, Ambarawa, Kudus, dan lainnya.

Lokasi pasar kambing, dulunya merupakan lahan kosong. Pasar itu mulai ada sekitar tahun 1970an. Di mana ada beberapa pedagang yang berjualan kambing di pinggir jalan. Pasar Kambing Kota Semarang juga sempat dikenal luas dan jadi jujugan oleh para pedagang kambing.

Namun sejak tahun 1995, keramaian pasar tersebut mulai surut karena sebagian lahan telah berubah menjadi deretan bangunan rumah toko (ruko).

Menurut pengamat Sejarah Kota Semarang, Rukardi Achmadi, Pasar Kambing Semarang yang berada di pertigaan Jalan Tentara Pelajar itu, merupakan pasar tradisional yang terbentuk secara alamiah bukan diprogram dari pemerintah setempat.
Karena di lokasi tersebut, dulu ada aktivitas jual beli beberapa pedagang kambing dan warga sekitar. Awalnya hanya ada satu dua orang pembeli yang berdatangan, kemudian lambat laun menciptakan pasar.

“Pasar Kambing Semarang mengalami puncak perkembangan pesat pada tahun 1980 sampai awal tahun 1990. Kalau orang sekitar Semarang bicara pusat perdagangan kambing, ya di pasar kambing Semarang,” terangnya, Rabu (24/7/2019).

Rukardi menambahkan, pasar kambing tersebut dulu tidak hanya ramai saat Idul Adha saja. Memang saat moment tersebut biasanya ada pedagang kambing musiman dari berbagai daerah yang ikut mremo untuk berjualan di sana. Tapi tiap hari, di luar hari raya Idul Adha ada ratusan pedagang yang juga aktif menjajakan dagangannya di tempat itu. Bahkan area wilayahnya sangat luas. Jelang Idul Adha, pedagang sampai menjajakan kambing di tempat yang kini menjadi Java Mal hingga Pasar Mrican.

“Dulu arus lalu lintas di daerah itu belum sepadat sekarang. Pada tahun 1995-an, Pemkot Semarang mengeluarkan kebijakan aturan tentang PKL, yang melarang warga untuk berjualan kambing di tepi jalan. Tapi sayangnya pemkot tidak memberikan solusi, atau diberikan tempat relokasi sebagai lokasi pengganti bagi pedagang. Sehingga banyak pedagang yang akhirnya alih profesi atau pindah berjualan di tempat lain. Perlahan keramaian pasar ini menjadi redup,” katanya.

Dilihat dari lokasi sekarang, lanjut dia, lokasi tersebut memang sudah tidak bisa dibuat seperi dulu lagi.

Pemkot seharusnya memberikan tempat khusus bagi pedagang kambing yang ada di Kota Semarang. Sebab dari adanya pasar kambing, akan memberi dampak positif bagi warga sekitar. Jika ada sentra pasar kambing di Kota Semarang, tentu akan banyak didatangi masyarakat dari berbagai daerah.

Apalagi jelang Idul Adha seperti sekarang, banyak pedagang kambing yang akhirnya membuka lahan baru di pinggir-pinggir jalan. Dampaknya mereka tak tertata dan mengganggu ketertiban wilayah.

“Karena dengan adanya pasar tersebut akan diperoleh pemasukan atau keuntungan dari retribusi yang dikenakan kepada pedagang. Sedangkan untuk nama pasar itu sendiri harus diabadikan. Meski pasarnya sudah tidak ada, namun kawasan itu memang sudah dikenal sebagai Pasar Kambing,” katanya.

“Saya pun berharap, patung kambing yang sudah ada dibangun lagi agar makin terekspos oleh generasi milenial saat ini. Makin baiknya, di dekat patung itu diberi keterangan semacam narasi bahwa dulunya lokasi ini pernah jadi sentra pasar kambing, atau batu prasasti sehingga masyarakat mengetahui nilai historisnya,” katanya.

Seorang warga sekitar, Hasan (60) mengatakan, sejak tidak ada lagi Pasar Kambing, para pedagang memilih berjualan di pinggir jalan atau di dalam gang.

“Itu pun tidak setiap hari. Cuma saat menjelang Idul Adha,” ujar warga Kampung Jomblang, Kelurahan Candisari, Kecamatan Candi ini, Selasa (23/7/2019).

Hasan menambahkan, tidak adanya Pasar Kambing juga mengubah kehidupan masyarakat sekitar. Masyarakat Kampung Jomblang yang dulunya banyak yang berprofesi sebagai pedagang kambing, kini mulai beralih profesi menjadi buruh serabutan, karyawan swasta, dan lain-lain.

“Kini cuma tinggal tiga orang yang masih berprofesi sebagai pedagang kambing. Itu pun kambingnya kebanyakan ditaruh di gang-gang atau jalan kampung depan rumah. Mereka juga jualan pas mendekati Idul Adha saja,” papar Hasan.(HS)

Warga di Kedungmundu dan Sendangguwo, Nyaman Hidup Berdampingan dengan Makam China Kuno

Menristekdikti Harapkan Kampus Ikut Kuatkan Ekonomi Kerakyatan