KAMIS, 9 Oktober 2025, Pemkot Semarang membuat gebrakan yang bikin nitizen di media sosial bergunjing: surat keputusan pemberhentian tiga direktur PDAM Tirta Moedal sekaligus.
Nomor SK-nya B/5085/900.1.13.2/X/2025, ditandatangani Hernowo Budi Luhur, Asisten Ekonomi Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat di Setda Kota Semarang. Langsung saja, Direktur Utama E Yudi Indardo, Direktur Umum Mohammad Indra Gunawan, dan Direktur Teknik Anom Guritno dicopot dari kursi panas mereka.
Keputusan ini bukan main-main, mengacu Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 soal Badan Usaha Milik Daerah, Permendagri Nomor 37 Tahun 2018 tentang cara angkat dan copot direksi BUMD, plus Permendagri Nomor 23 Tahun 2024 yang khusus urus organisasi dan pegawai BUMD air minum.
Pemkot Semarang beralasan, ini langkah rutin untuk jaga performa. Tapi di kalangan warga, reaksi campur aduk. Ada yang tepuk tangan pelan, ada pula yang geleng-geleng kepala sambil pegang galon kosong, ada juga yang harap-harap cemas siapa tahu nama mereka masuk sebagai pengganti.
Soalnya di Semarang ini, urusan air seringkali seperti plot twist sinetron: penuh harap, tapi endingnya bikin kecewa.
Lihat saja riwayat Tirta Moedal belakangan. Beberapa tahun terakhir, keluhan warga soal tekanan air lemah atau genangan pipa bocor di jalan tak pernah putus. Bayar tagihan tepat waktu, tapi air datangnya seperti tamu tak diundang, kadang muncul tengah malam, kadang hilang berhari-hari.
Dan kasus terbaru, soal tudingan PDAM Tirta Moedal yang dianggap kecolongan atas temuan mayat di dalam Reservoir Siranda, pertengahan Agustus 2025.
Bagi ibu-ibu di kawasan perumahan seperti Banyumanik, Sendangmulyo, Tlogosari, Ngaliyan, persoalan kualitas air dan buruknya layanan PDAM sudah jadi kenyataan sehari-hari.
Mereka harus antre di depot air atau beli galon isi ulang saat air tak mengalir atau mengalir dengan kualitas kurang baik, sementara tagihan tetap datang rutin seperti calo parkir. Ironinya, perusahaan yang tugasnya urus air minum, sekali lagi AIR MINUM, malah bikin warga haus akan keandalan. Apalagi dengan cuaca Semarang yang makin panas, di mana satu hari tanpa air bisa ubah dapur jadi gurun mini.
Nah, pemberhentian ini datang tiba-tiba, seperti hujan deras di musim kemarau. DPRD Semarang langsung angkat suara lewat Komisi B, bahwa prosesnya kurang diskusi. Bahkan Ketua Komisi B DRPD Kota Semarang, Joko Widodo menyoroti potensi gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Memang, tiga direktur itu disebut-sebut sudah rencanakan langkah hukum. Bukan hal aneh di negeri ini, di mana pergantian jabatan sering disambut dengan surat gugatan daripada tepuk tangan meriah.
Tapi mari kita tarik napas dulu. Ini bukan soal siapa salah atau benar, melainkan soal air yang harus tetap mengalir. Kalau direksi lama diganti, harapannya sederhana, pipa tak lagi bocor seenaknya, tagihan tak bikin dompet menjerit, dan pelayanan jadi prioritas utama.
Transisi ke harapan itu mulus, karena Pemkot sendiri janjikan perbaikan. Hernowo Budi Luhur, yang tandatangan SK itu, katanya mewakili komitmen wali kota untuk tingkatkan efisiensi. Bukan janji kosong, tapi langkah konkret berdasarkan aturan, menurutnya.
Seperti tim sepak bola yang ganti pelatih di tengah musim. Kadang hasilnya juara, kadang malah degradasi. Di sini, kita doakan yang pertama. Warga Semarang butuh air yang tak hanya cukup, tapi juga murah dan tepat waktu. Syukur-syukur bisa diminum, bukan kualitasnya hanya layak untuk cuci motor saja.
Bukan lagi cerita tentang air yang mengalir saat malam hari, kualitas air yang keruh, atau meteran yang tiba-tiba “lupa” hitung pemakaian.
Kasus ini ternyata juga ungkap sisi lucu dari birokrasi kita. Di satu sisi, ada SK yang penuh nomor dan pasal, seperti resep obat dari dokter spesialis. Di sisi lain, warga biasa cuma butuh air bersih untuk mandi pagi dan sore.
Ironi terbesar? Saat direksi dicopot, cuaca Semarang justru kirim curah hujan deras, seolah alam ikut komentar. “Lihat, air gratis dari langit,” gumam tetangga sambil angkat ember.
Tapi tentu saja, itu tak bisa gantikan peran PDAM Tirta Moedal. Perusahaan ini lahir dari kebutuhan dasar, bukan proyek mewah. Kalau manajemen baru gagal, bukan cuma tagihan yang naik, tapi juga cerita rakyat di angkringan: “Eh, airnya lagi mogok gara-gara direksi ribut.”
Balas Budi
Sekarang, mari kita bedah sedikit soal direktur-direktur itu. E Yudi Indardo, sebagai Dirut, pasti pegang kendali besar. Mohammad Indra Gunawan urus urusan umum termasuk administrasi. Lalu Anom Guritno di bidang teknik, yang seharusnya jaga pipa dan pompa tetap prima.
Ketiganya diberhentikan bareng, seperti trio komedi yang tiba-tiba dibubarkan produser. Tak ada tuduhan korupsi bombastis atau skandal besar yang bocor ke media, hanya proses administratif yang katanya standar. Tapi di mata warga, ini kesempatan emas untuk reset. Bayar tagihan bulanan, dapat air berkualitas. Sederhana, kan?
Dari sisi Pemkot, Permendagri 23 Tahun 2024 jadi alasan untuk dorong BUMD air minum lebih lincah, dengan struktur organisasi yang ramping. Tak lagi birokrasi berlapis seperti lapisan bawang, tapi tim yang fokus ke lapangan dan pelayanan.
Harapannya, pengganti mereka bawa ide segar: mungkin sensor pintar untuk deteksi kebocoran, atau promo diskon untuk warga miskin kota. Bukan mimpi, tapi hal-hal kecil yang bikin beda.
Kalau tidak, ya sudah, warga bakal balik ke galon dan ember, sambil bisik-bisik soal direksi lama lebih baik dari yang baru. Dan, direksi lama pun siap pasang baliho besar di depan Kantor PDAM Tirta Moedal, Jalan Kelud Raya No. 60 Semarang “Piye Enak Jamanku To??”.
Di balik guyonan itu, ada pesan serius. Semarang, kota perdagangan yang ramai, tak boleh kalah saing gara-gara urusan air. Investor datang, tapi kalau kamar mandi hotel mogok, reputasi ambruk.
Warga lokal pun sama, anak sekolah butuh air untuk sekadar cuci muka, pekerja pabrik butuh hidrasi, dan penjual ayam geprek kaki lima butuh mencuci tangan.
Pemberhentian ini, kalau dikelola baik, bisa jadi cerita sukses. Direksi baru masuk, pelayanan naik kelas, dan warga senyum lebar saat buka keran.
Tapi jangan sebaliknya, direksi baru ternyata hanya gerombolan sirkus yang menggantikan komedian di panggung. Dapat gaji besar pula.
Ingat, ini soal pelayanan kemasyarakatan, ini soal air bersih yang seharusnya layak konsumsi, bukan tayangan hiburan ala Drama Korea atau balas budi politik.
Warga Kota Semarang pantas dapat yang terbaik: air bersih, manajemen jujur, dan cerita yang tak lagi bikin haus tawa.
Selamat berharap, semoga keran tak pernah kering, seperti semangat kita yang selalu basah kuyup oleh liur tawa para pejabat.(Tulisan ini disempurnakan oleh AI-HS)


