WARGA Kota Semarang tentu tak asing lagi dengan Sungai Banjirkanal Barat maupun Banjirkanal Timur yang dulu menjadi batas wilayah Kota Semarang, sekaligus menjadi pemisah dengan wilayah sekitarnya.
Kini sungai ini merupakan dua saluran induk sistem drainase Kota Semarang yang memiliki peran besar dalam menanggulangi masalah banjir serta mendukung ketercukupan air bersih bagi warga Semarang. Banjirkanal Timur sendiri, saat ini sedang dinormalisasi untuk penataan sekaligus mengantisipasi persoalan banjir di wilayah timur Kota Semarang.
Sementara Banjirkanal Barat, sudah lebih dulu ditata tahun 2010-2013, sehingga kini nampak lebih elok dari sebelumnya.
Di salah satu wilayah yang ada di aliran Banjirkanal Barat, ada satu wilayah yang dinamakan Kaligarang.
Sungai Kaligarang ini merupakan salah satu monumen pengelolaan sumber daya air di Kota Semarang.
Namun belum banyak yang tahu, daerah Kaligarang Semarang, tepatnya di sepanjang aliran Banjirkanal Barat dekat Bendungan Simongan tersebut memiliki sejarah panjang yang akrab pula dengan mitos dan legendanya.
Meski sulit dibuktikan kebenarannya, legenda memang selalu menarik disimak.
Konon nama daerah tersebut berhubungan dengan legenda perjalanan Sunan Kalijaga saat mencari kayu jati untuk pembangunan Masjid Agung Demak hingga ke Gua Kreo dan hutan Tinjomoyo Semarang.
Dipercaya oleh masyarakat setempat, sekitar 1400 M, Raden Patah dan para Walisongo ingin mendirikan masjid sebagai pusat syiar agama Islam di Demak. Pembangunan masjid ini membutuhkan material yang tidak sedikit.
Khususnya material kayu yang diharapkan bisa bertahan hingga ratusan tahun. Lalu Raden Patah dan para wali setuju untuk mencari kayu jati besar yang berumur ratusan tahun di beberapa wilayah hutan sekitar Demak.
Salah satu sunan yang terpilih untuk mencari kayu tersebut adalah Sunan Kalijaga. Dia ditugaskan di pegunungan sebelah selatan Demak dan ditemani oleh Ki Tapak Tumunggul.
Akhirnya mereka menemukan kayu jati yang dicari di dekat wilayah yang bernama Pragota dan memutuskan untuk menebangnya pada esok harinya.
Sambil menunggu prajurit datang, mereka dan para pengawal beristirahat di tepi sungai sambil membuat api unggun untuk menghangatkan tubuh. Dalam bahasa Jawa, kegiatan tersebut disebut dengan nggarang awak. Kemudian tempat tersebut dinamai Kaligarang hingga sekarang.
Pagi harinya, mereka bergegas untuk menebang kayu jati pilihan meraka. Alangkah terkejutnya, jati itu menghilang begitu saja. Untuk mencarinya, sunan Kalijaga bertapa di bukit. Dalam pertapaannya, dia meninjau dengan mata batin yang disebut manik maya, sehingga bukit yang dia jadikan tempat pertapaan disebut dengan Tinjomoyo.
Terlepas dari mitos yang ada, Kali Garang, merupakan bagian dari tiga sungai utama di Daerah Aliran Sungai (DAS) Garang yang terdiri dari sungai Garang, Sungai Kripik dan Sungai Kreo.
Kali Garang pada masa Hindia Belanda pernah dibangun dengan proyek pembangunan Bendung Simongan dan Banjirkanal Barat pada tahun 1300an. Perkembangannya, Kali Garang kemudian difungsikan sebagai sistem pengendali banjir untuk Kota Semarang.
Pada masa Pemerintahan Republik Indonesia, Kali Garang mendapatkan tambahan fungsi, yakni sebagai sumber bahan baku air minum untuk warga Kota Semarang yang ditandai dengan Pembangunan Instalasi Pengolahan Air (IPA) Kali Garang I pada tahun 1959. Hingga kini pemanfaatan sebagai sumber air baku masih berjalan, dan dikelola oleh PDAM Tirta Moedal Semarang.
Banjir Bandang
Namun meski memiliki peran besar dalam pemenuhan air bersih bagi warga sekitar, aliran Sungai Kaligarang pernah menjadi momok bagi warga sekitar.
Tahun 1990, terjadi banjir yang luar biasa hingga menyebabkan kerugian baik materi maupun korban jiwa. Tak sedikit warga yang meninggal akibat kejadian ini.
Banjir bandang tersebut sebenarnya bukan kali pertama terjadi di aliran Sungai Kaligarang. Data mencatat, banjir bandang di sungai tersebut berulang pada tahun 1963, 1990, 2000, 2002, dan 2008. Akan tetapi peristiwa 1990-lah yang paling membekas di ingatan warga Semarang hingga saat ini.
Atas dasar kondisi tersebut, terwujudlah proyek normalisasi dan pembangunan Banjirkanal Barat untuk mengantisipasi terjadinya banjir di masa depan. Proyek ini berjalan dimulai tahun 2010 hingga 2013 yang lalu. Desain pembangunan Banjirkanal Barat memang disiapkan dengan sangat baik demi kenyamanan warga Kota Semarang.
Tak pelak, sejumlah event baik besar maupun kecil telah di laksanakan di area publik kawasan Banjirkanal Barat ini hingga sekarang.(HS)