in

Cerita Makam Kuno dan Gunung Brintik Semarang

Makam Nyai Brintik di Sebelah Mushala kawasan Gunung Brintik, RT 07 RW 03, Kelurahan Randusari, Semarang Selatan.

BUKIT Gunung Brintik Semarang memang konon memiliki jejak misteri terkait sejarah panjang Kota Semarang. Masuk kawasan wilayah yang dulu bernama Pragota, dalam beberapa tulisan soal sejarah Semarang, bukit yang ada di Kampung Wonosari, Kelurahan Randusari, Kota Semarang ini kerap disebut dan dipercaya menyimpan jejak kekayaan budaya. Gundukan bukit ini diperkirakan dulunya berupa pulau yang dikelilingi air laut.

Legenda ini kian menghilang ditelan peradaban zaman di tengah kesibukan Kota Atlas yang metropolitan. Keberadaan Gunung Brintik saat ini menjadi permukiman padat. Saking berjejalnya penduduk, kampung ini dikenal menjadi basis anak jalanan, pengemis, tukang becak, hingga tukang pengepul sampah. Namun belakangan ini, kampung tersebut disulap oleh Pemkot Semarang menjadi kampung warna-warni yang dikenal dengan sebutan Rainbow Village atau Kampung Pelangi Semarang. Pemandangan rumah berjejal di lereng bukit terjal. Kontur tanah di wilayah ini mengakibatkan transportasi kendaraan sulit masuk di permukiman padat ini. Hampir semua rumah warga berhimpitan dengan jalan setapak dan menanjak.

Di puncak bukit akan dengan mudah menemukan ratusan rumah warga berhimpitan dan bahkan sebagian berdiri di tengah-tengah patok kuburan Bergota.

Kampung Gunung Brintik memang memiliki kisah sejarah panjang. Sederet nama tokoh besar pernah singgah di daratan tersebut. Bahkan memiliki peran dalam peradaban penting di Kota Semarang. Salah satunya terdapat jejak tonggak penambat kapal.

Lokasi tersebut konon dulu digunakan sebagai tempat bersandar kapal. Bahkan ada yang menyangkutkan dengan era tokoh fenomenal Cheng Ho. Sejarah Cheng Ho sudah banyak diketahui masyarakat luas.

Selain itu, di Gunung Brintik tersebut juga ada sejumlah makam tokoh ulama penyebar agama Islam, Mbah Sholeh Darat. Tokoh Sholeh Darat atau Muhammad Saleh bin Umar As-Samarani adalah ulama besar di tanah Jawa yang dikenal sebagai pendiri pendidikan pesantren pertama kali. Mbah Sholeh merupakan guru dua tokoh besar KH Hasyim Ashari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), dan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Selain itu, nama Gunung Brintik ditengarai diambil dari legenda seorang wanita berambut brintik (keriting) yang sakti mandraguna penghuni pertama kali bukit rimbun tersebut. Makam tokoh Dowo Rinjani atau Nyai Brintik ini juga berada di perbukitan tersebut.

Saat halosemarang.id, berkunjung ke kawasan Gunung Brintik, dari informasi warga sekitar tak kesulitan untuk menemukan lokasi makam tokoh tersebut yang memang berada di samping Mushala Gunung Brintik, di RT 07, RW 03, Kelurahan Randusari, Semarang Selatan. Makam Nyai Brintik, memang terpisah dari pemakaman umum warga, selain berada di sebelah mushala, juga di dalam sebuah bangunan yang dijaga oleh juru kuncinya. Sehingga untuk masuk ke dalam, harus seiizin juri kunci atau penjaga makam. Nampak di dalam bangunan tersebut, ada satu ruangan lagi di mana makam itu berada. Makam itu, sekilas seperti biasanya makam, namun makam Nyai Brintik, di atas pusaranya ditutupi kain jarik, warna cokelat gelap.

Di samping makam, terdapat benda-benda yang diperkirakan peninggalannya seperti payung kain khas zaman kerajaan, guci, dan kursi. Serta dua wadah untuk menaruh hio, sebagai sarana ritual untuk berdoa para peziarah yang datang. Saat masuk ke ruangan makam, harum aroma terapi pun semerbak.

“Biasanya hari-hari tertentu banyak yang ziarah, seperti malam Suro kemarin dan bulan lainnya. Mereka datang untuk berdoa dan minta sesuai keinginannya masing-masing. Dan yang datang tidak hanya dari Kota Semarang tapi juga ada dari luar daerah, seperti Jakarta, Bandung dan Bahkan dari Sumatera,” kata Ari, salah satu warga Gunung Brintik, Rabu (4/8/2019).

Dia menambahkan, berdasarkan legenda masyarakat, Nyai Brintik konon dulunya adalah sosok wanita cantik berambut brintik yang sakti mandraguna. Dia tinggal dan meninggal dan akhirnya disemayamkan di bukit Gunung Brintik yang dulu dikenal angker. “Menurut cerita dari orang-orang tua dulu, Nyai Brintik, sebagai salah satu tokoh yang membuka hutan atau babat alas di sini,”imbuhnya.

Meski diduga menyimpan peninggalan jejak situs budaya masa lampau yang penuh misteri, tetapi hingga kini belum ada penelitian mendalam mengenai sejarah Gunung Brintik secara ilmiah. Sehingga cerita-cerita tersebut masih sebatas kisah ‘konon’ secara turun temurun.

“Dengan banyaknya cerita masa lampau tentang tempat ini, sebenarnya kami berharap nantinya bisa dikembangkan untuk destinasi wisata religi di kawasan Gunung Brintik ini, untuk meningkatkan kesejahteraan warga sekitar,” jelas Krisyanto, tokoh masyarakat setempat.(HS)

Dengan “Dia”, Anji Buat Ribuan Mahasiawa Baru Udinus Histeris

Libatkan Partisipasi Masyarakat dan Lembaga Peduli Lingkungan untuk Penghijauan Kota Semarang