HALO SEMARANG – Teng-tengan, mainan berupa lampion prisma yang diberi lilin dan menampilkan bayangan “siluet” dengan berbagai bentuk gambar, menjadi salah satu kerajinan unik serta tradisi yang terus dipertahankan oleh masyarakat Purwosari Perbalan, Kelurahan Purwosari, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang.
Teng-tengan dulunya lebih dikenal dengan nama Dian Kurung yaang diciptakan sekitar tahun 1942, dan hingga saat ini kerajinan yang jadi bagian dari tradisi warga Perbalan Kota Semarang ini, masih terus dilestarikan.
“Sudah turun temurun, saya membuat kerajinan teng-tengan ini, dulu itu bapak saya, dan buyut-buyut saya. Dan saat ini saya yang meneruskan, karena di Kota Semarang satu-satunya pengrajin Teng-tengan saat bulan Ramadan ya cuma di sini (Purwosari Perbalan, Kota Semarang),” ungkap Junarso, salah seorang pengrajin Teng-tengan saat ditemui, Selasa (21/5/2019).
Lebih lanjut Junarso mengatakan, setiap harinya, dibantu dengan seorang rekanya, dia bisa membuat kurang lebih 20 Teng-tengan.
Dulu pada awal mulanya Teng-tengan tidak diperjualbelikan karena hanya difungsikan sebagai penerangan, namun dalam perkembangannya kini Teng-tengan menjadi kerajinan yang dipasarkan sebagai mainan dan haiasan. Lampion yang terbuat dari kertas aneka warna ini mampu mendatangkan rezeki bagi Junarso.
“Satunya itu harganya Rp 15 ribu, saya biasa jual keliling kampung. Kadang juga ada pesanan skala besar dari luar kota, seperti Surabaya, Jogja, dan Bandung,” ungkapnya.
Sementara itu, sesepuh warga Purwosari Perbalan, Tunut Sofwani mengatakan, bahwa lampion pada awalnya bernama Dian Kurung ini dibuat pada 1942. Nama Dian Kurung diambil dari kata Dian yang berarti lampu, dan Kurung berarti kurungan. Dian Kurung awalnya berbentuk segi empat, berbeda dengan lampion sekarang yang berbentuk prisma persegi delapan.
Menurutnya saat itu, Kampung Perbalan masih berupa rawa dan belum teraliri listrik, kemudian seorang yang dikenal dengan Mbah Saman mulai membuat Teng-tengan yang digunakan untuk penerangan.
“Dulu itu, saat Ramadan di sini sangat minim penerangan, sedangkan jalan menuju mushala itu gelap. Akhirnya warga berinisiatif membuat sebuah Dian Kurung lampu yang dikurung, sebagai alat untuk penerangan menuju masjid atau mushala,” ungkapnya.
Dian Kurung atau Teng-tengan digunakan sebagai penerangan dengan berbagai bentuk, ada yang bisa ditempel di dinding dan ada bisa dibawa untuk penerangan di jalan. Penggunaan Teng-tengan ini akan semakin banyak saat memasuki Bulan Ramadan, karena warga membutuhkannya untuk pergi ke masjid.
“Karena kemajuan zaman, Dian Kurung digemari oleh anak-anak dan warga, sehingga di sini dalam pembuatannya meningkat terutama saat bulan puasa. Dulu awal-awal ditempel di tembok sekarang sudah ada yang bisa berputar,” imbuhnya.(HS)