HALO SEMARANG – Industri sepak bola Indonesia tengah menghadapi tantangan finansial yang serius, bahkan bagi klub-klub besar di Liga 1. Presiden Borneo FC, Nabil Husein Said Amin, baru-baru ini mengungkapkan secara blak-blakan bahwa klub yang dipimpinnya mengalami kerugian yang signifikan.
Dalam pernyataannya di kanal YouTube Sport77 Official, Nabil mengungkapkan realitas pahit mengelola klub sepak bola di Indonesia yang tidak memberikan keuntungan seperti yang ia bayangkan. “Tim lain sih saya enggak tahu, kalau saya buntung. Bukan untung, tambahi b, buntung,” ungkap Nabil, menegaskan kesulitan yang dialami klubnya pada Senin (6/1/2025).
Ia juga mengkritik perbedaan antara pengelolaan klub di dunia nyata dan simulasi permainan seperti Football Manager. “Di FM, tahun pertama bisa untung. Di sini, buntung. Kita bingung kenapa tidak ada perubahan. Kami harus menemukan formula baru; industri olahraga harus terus berjalan,” lanjutnya.
Menurut Nabil, salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan klub adalah melalui transfer pemain. Contohnya, kepindahan Pato ke klub di China, yang pendapatannya digunakan untuk membangun fasilitas, akademi, dan menambah peralatan latihan.
Nasib Serupa Dialami Klub Lain
Pandangan serupa juga diungkapkan oleh Teddy Tjahjono, mantan Direktur Utama PT Persib Bandung Bermartabat (PT PBB). Dalam Podcast Sport77 Official pada 2023, Teddy menyatakan bahwa industri sepak bola di Indonesia tidak menguntungkan. “Saat ini, saya rasa tidak ada klub Indonesia yang profitable. Tantangannya besar untuk menjalankan dan mengelola klub. Biaya operasional tetap merugi,” ujarnya.
Teddy menjelaskan bahwa ada empat sumber pendapatan utama klub: sponsor, penjualan merchandise, hak siar, dan tiket pertandingan. Namun, keempat elemen ini tidak cukup untuk menutup biaya operasional klub selama satu musim kompetisi.
Bali United, satu-satunya klub sepak bola di Indonesia yang telah menjadi perusahaan terbuka, juga mengalami kerugian. Berdasarkan laporan keuangan PT Bali Bintang Sejahtera Tbk (BOLA) pada semester I-2024, klub ini mencatatkan rugi bersih sebesar Rp69,8 miliar, berbalik dari laba bersih Rp 13,6 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya. Kerugian ini berdampak pada penurunan nilai saham dasar sebesar Rp 11,64 per lembar.
Bagaimana dengan PSIS?
Kondisi serupa juga dialami oleh klub-klub besar lainnya di Liga 1 Indonesia. CEO PSIS, Yoyok Sukawi, beberapa waktu lalu menyampaikan bahwa tantangan finansial menjadi kendala utama dalam mengelola klub sepak bola di Tanah Air. Meskipun tidak menyebutkan angka spesifik, Yoyok menegaskan bahwa PSIS terus mencari strategi untuk menjaga keberlanjutan klub.
“Akhir-akhir ini, ramai di media sosial mengenai pernyataan Bro Nabil, Pak Teddy, dan Pak Pieter. Saya rasa kondisi klub-klub di Indonesia hampir sama, termasuk di PSIS. Kami terus berusaha keras supaya PSIS bisa terus berjalan dalam kondisi apapun. Terlebih lagi, selama beberapa tahun terakhir, kondisi industri sepak bola Indonesia belum baik-baik saja. Namun, kami terus mencari pendapatan melalui beberapa sektor yang ada, seperti sponsorship, penjualan merchandise, dan pembangunan tempat latihan yang bisa disewakan untuk menambah pendapatan,” jelas Yoyok.
Dengan tantangan finansial yang terus menghantui, klub-klub sepak bola Indonesia harus berinovasi dan beradaptasi agar bisa bertahan dan berkembang di tengah situasi yang sulit ini.(HS)