HALO KENDAL – Tradisi penjamasan benda pusaka, menjadi bagian yang sakral bagi sebagian masyarakat, yang masih dilakukan jelang peringatan Satu Suro atau tahun baru 1 Muharram.
Bulan Muharam dalam penanggalan Islam atau Suro dalam penanggalan Jawa, kerap diidentikan dengan pencucian atau penjamasan benda pusaka.
Ritual yang kerap identik dengan masyarakat Jawa ini, dianggap sudah menjadi bagian dari tradisi yang terus menerus dilestarikan tiap tahunnya.
Meski di tengah pandemi corona seperti saat ini, tradisi tersebut masih terus berjalan. Seperti yang dilakukan pelaku budaya tradisional di beberapa wilayah di Kabupaten Kendal.
Menurut Sunardi, salah satu pelaku budaya asal Weleri, tradisi penjamasan ini, adalah dalam rangka melestarikan budaya, menghargai, dan merawat peninggalan bersejarah.
“Di sisi lain, ada nilai tersendiri saat memiliki benda pusaka. Baik dari segi pembuatan yang disesuaikan dengan latar belakang seseorang, dari kalangan kerajaan atau orang biasa,” ungkapnya, Kamis (20/8/2020).
Sunardi mengaku, benda pusaka ini dipercaya memiliki kekuatan yang mengikat, antara pemilik dengan pusaka yang dimilikinya.
“Adapun benda peninggalan yang dijamas, biasanya berupa keris dan tombak dengan jumlah belasan lebih peninggalan jaman dahulu. Bahkan ada keris peninggalan kerajaan Majapahit, yang berumur ratusan tahun,” ungkapnya.
Sementara peringatan Satu Suro, Rabu (19/8/2020) di Desa Sidomulyo, Kecamatan Cepiring juga digelar penyucian benda-benda pusaka peninggalan kerajaaan atau biasa disebut penjamasan.
Menurut Agus Riyatno yang juga pelaku budaya di Kendal, pelaksanaan jamasan sendiri, dilakukan melalui beberapa proses.
Mulai dari pembacaan doa, jamas atau pencucian keris hingga sindikoro atau menyelaraskan energi.
“Dalam budaya jawa atau lebih dikenal dengan kejawen, orang yang mempercayai pasti memiliki benda pusaka. Sebab dikaitkan dalam perhitungan jawa, kelahiran manusia memiliki makna dan ciri khas tersendiri,” terangnya.
Ditandaskan, dalam kepercayaan Kejawen, tanggal kelahiran orang Jawa semua memiliki makna.
“Misal orang lahir di hari Senin pasarannya Pon, dalam primbon Jawa orang tersebut bisa ditebak untuk piagem atau pusaka yang pas adalah pusaka apa. Itu dalam ilmu kejawen,” jelasnya.
Namun demikian, dirinya menolak jika dikatakan meyembah atau percaya pada benda pusaka.
“Kami tetap percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, benda-benda pusaka tersebut hanya sebagai perantara saja,” imbuhnya.
Menurutnya penjamasan ini juga merupakan salah satu cara untuk melestarikan budaya. Terlebih peninggalan sejarah Indonesia seperti keris yang telah diakui oleh Unesco sebagai warisan dunia.(HS)