in

Ngarak Tirta, Upaya Merekatkan Kembali Hubungan Sosial Warga Bukit Jatiwayan

Warga dengan memakai busana adat, dan membawa hasil bumi berkeliling kampung Bukit Jatiwayang di Kelurahan Ngemplak Simongan, Semarang Barat, Kota Semarang, Minggu (20/3/2022) sore.

PULUHAN warga dengan memakai busana adat, dan membawa hasil bumi berkeliling kampung Bukit Jatiwayang di Kelurahan Ngemplak Simongan, Semarang Barat, Kota Semarang, Minggu (20/3/2022) sore.

Beberapa lelaki dewasa juga terlihat memikul gunungan yang dihiasi dengan sayur mayur dan buah-buahan. Kemeriahan semakin terasa, saat anak-anak ikut membunyikan kentongan dan alat tabuh lain sebagai pelengkap perayaan.

Di barisan paling depan, ada beberapa remaja yang memegang kendi berisi air, yang kemudian diserahkan kepada ketua RW setempat. Doa bersama pun dilaksanakan dengan dipimpin sespuh kampung, dan dilanjutkan dengan “rebutan gunungan”.

Kemeriahan warga di Kelurahan Ngemplak Simongan, Semarang Barat itu merupakan prosesi budaya memperingati Hari Air Sedunia, warga Bukit Jatiwayang. Meski meriah, warga tetap mematuhi protokol kesehatan dengan mengenakan masker dan menjaga jarak.

Air yang diarak keliling kampung merupakan air dari tujuh sumber air yang dulu dipakai untuk memenuhi kebutuhan warga dalam kehidupan (masak, mandi, cuci), saat kampung tersebut pertama kali dihuni warga.

Bertajuk Ngarak Tirta, kegiatan itu juga menjadi pembuka Festival Bukit Jatiwayang yang akan dilaksanakan September mendatang.

Waris Sutriono (43) warga Srinindito Timur 2 RT 06/ 03 Ngemplak Simongan sekaligus ketua panitia mengatakan, tujuan diadakannya acara ini untuk mengguyubkan warga. Dulunya warga kampung saling kenal dan akrab satu sama lain, namun karena perubahan gaya hidup dan perkembangan zaman, tak semua warga kini saling kenal dan peduli.

“Ini juga menjadi acara pembuka festival tahunan kami bersama Kolektif Hysteria yang dirintis sejak 2018, namun sejak pandemi dua tahun berturut-turut absen,” ujarnya di sela acara Ngarak Tirta.

Waris percaya festival adalah sarana paling manjur untuk merekatkan kembali hubungan antarwarga. Selain itu juga berfungsi sebagai lem sosial.
Dalam kegiatan ini ada tiga gunungan yang diarak warga bersama 9 kendi berisi air dari 9 sumber yang berbeda.

“Air itu diambil dari 7 sumur yang kami kenal dari sejak masa lalu, ada di Manyaran sumur Pak Kodri, RW 1 berupa sumur umum, RW II milik Pak Royo, sumur ban, Saikem (3), RW III sumur kepunyaan Mbah Sueb dan Tentrem (2), dan satu sumur artetis punya Pak Ali, serta satu sumber dari PDAM,” lanjut Waris.
Sumur-sumur itu dulunya menjadi penghubung interaksi warga dan sekarang semua sumur itu menggunakan teknologi pompa air.
Acara sendiri diikuti puluhan warga, baik lelaki, perempuan, dan anak-anak.

Sebagai informasi, Festival Bukit Jatiwayang sendiri merupakan upaya mengingat kembali sejarah kampung. Festival ini juga ditujukan untuk merekatkan hubungan masyarakat setempat.

Sebelum menjadi daerah hunian, Bukit Jatiwayang adalah areal pemakaman. Sekitar akhir 1960-an, penggusuran di Citarum membuat mereka datang ke kawasan perbukitan ini. Sejak itu, pemakaman yang umumnya dikenal seram pun beralih menjadi permukiman padat. Guna mengenang sejarah keberadaan kampung itulah Festival Bukit Jatiwayang diselenggarakan.(HS)

Angkat Hobi Jadi Ajang Prestasi, Hendi Selenggarakan Kompetisi Mini 4WD

Ancaman Baru di Kelas Berat UFC