
SITUS Candi Trisobo, di Desa Trisobo, Kecamatan Boja, Kendal, berada di areal kebun produktif milik warga. Untuk dapat menuju ke lokasi reruntuhan candi, harus berjalan kaki sekitar 10 menit dari depan Masjid Nurul Falah, Desa Trisobo, lalu melewati tegalan, rimbunan bambu, kemudian menyeberangi sungai. Dari posisi sungai itu, gumuk candi mulai terlihat, dan makin jelas setelah kita menyusuri pematang sawah yang hijau.
Di lokasi ini, halosemarang.id hanya dapat menyaksikan berupa runtuhan candi, berupa batu-batu yang dipakai untuk struktur candi. Seperti banon atau batu bata kuno, batu umpak, dan batu lapik. Namun warga sekitar banyak yang bercerita, bahwa pernah juga ditemukan kemuncak candi dan arca Mahakala. Berbagai temuan batuan Candi Trisobo, menandakan kalau dulunya digunakan untuk pemujaan masyarakat sekitar pada masa abad ke-8 masehi, era Kerajaan Mataram Kuno.
Banon yang ditemukan memiliki ukuran ketebalan sekitar 9 centimeter, lebar 24 centimeter, dan panjang 36 centimeter. Batuan ini banyak tersebar di lahan milik warga yang kini dimanfaatkan untuk perkebunan. Sayangnya, karena tak ada perhatian serius dari pemerintah daerah, banyak batuan reruntuhan candi kuno ini yang berangsur hilang, terkubur, dan rusak. Bahkan ada juga yang kemudian dimanfaatkan warga sekitar untuk kebutuhan pembuatan bangunan.
Koordinator Komunitas Pegiat Sejarah (KPS) Semarang, Rukardi mengatakan, situs Candi Trisobo bangunannya berukuran relatif kecil. Dimungkinkan, candi tersebut dulunya merupakan semacam candi desa, tempat pemujaan masyarakat lokal.
“Bukan pemujaan besar seperti candi Prambanan, dan Borobudur,” katanya, saat Jelajah Sejarah Semarang Era Hindu Buddha, Minggu (6/10/2019) lalu.

Layaknya semacam pura desa di Bali, bangunan Candi Trisobo merupakan tempat pemujaan terhadap Siwa. Namun bangunan candi ini merupakan peninggalan penting zaman Hindu.
“Dimana di era abad ke 8 Masehi, terdapat sebuah kerajaan periode lama, yakni Mataram Kuno yang beribukota di Medang Kamulan, sebelum pindah ke Jawa Timur. Di dalam Prasasti Canggal, disebutkan di dalamnya ada kata-kata “Medang in bhumi Mataram. Tapi untuk letak pastinya ibu kota tersebut belum diketahui secara pasti,” katanya.
Ada dua alasan kenapa Mataram Kuno, pindah ke Jawa Timur. Menurut Rukardi, yaitu letusan gunung merapi dan pendangkalan pelabuhan di Pragota atau Bergota, Semarang. Karena terjadi pendangkalan sehingga Mataram mengalami kemunduran.
“Bahkan, dikatakan pada masa itu, terjadi Pralaya mengalami kehancuran di Jawa, dan kemudian diteruskan oleh penerusnya, Empu Sendok,” imbuhnya.
Sementara, Eka pecinta Dewa Siwa Semarang mengatakan, selain ditemukan kemuncak candi di Candi Trisobo ini, juga ada tinggalan batu patok, yang menandakan lokasi ini dulunya bangunan candi atau tempat pemujaan. Batu yang biasanya terdapat di empat sudut bangunan candi punya arti, yaitu selain sebagai tembok pembatas tempat suci ini, sekaligus menunjukkan wilayah ini adalah tanah perdikan, atau tanah Sima.
“Di mana warga tidak diambil upetinya untuk masuk kas kerajaan, tapi upeti yang dikumpulkan itu untuk pemeliharaan bangunan suci yang ada,” terangnya.(HS)