PROGRAM nasional berupa Perhutanan Sosial yang memberikan akses kepada masyarakat sekitar hutan mengelola hutan negara untuk dimanfaatkan dari kerusakan, merupakan sebuah upaya untuk melindungi ekosistem hutan. Sehingga hutan dapat menjaga siklus air, menangkap air hujan, dan meresapkannya ke dalam tanah untuk menjadi air tanah. Tak hanya itu, dalam suatu ekosistem tutupan hutan, terutama di Daerah Aliran Sungai (DAS) juga mempunyai fungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air dari hulu ke hilir.
Hal itu disampaikan oleh Aktivis Lingkungan sekaligus Ketua Tropenbos Indonesia, Edi Purwanto saat menjadi salah satu pembicara dengan materi.”Penghijauan dan Kegagalan Pengeloaan DAS di Balik Maraknya Gerakan Lingkungan di Indonesia dalam acara Lokakarya Lingkungan dan Media Gathering Bakti Lingkungan Djarum Foundation (BLDF) di Djarum Oasis, Kudus, baru-baru ini.
Menurut Edi, kerusakan pada hutan karena disebabkan oleh aktivitas eksplorasi manusia seperti pengeprasan lereng atau bukit untuk area pertambangan atau pembangunan jalan yang tidak distabilkan. Akibatnya, terjadi erosi dan makin parahnya bencana banjir di musim hujan, karena berkurangnya daya serap dari akar pohon.
“Belum lagi dampak kebakaran hutan dan lahan gambut di musim kemarau, seperti yang terjadi di Kawasan Hutan Gambut Pawan-Kepulu- Pesaguan, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat. Karena dulunya masih ada praktik tebang bakar dari petani kelapa sawit untuk membuka lahan di saat musim kemarau tiba. Dampaknya yang terjadi setiap musim kemarau pada bulan Agustus dan September sejak 1997 terjadi kebakaran lahan, dengan kebakaran terbesar yang terjadi pada 2015 dan 2019 lalu,” paparnya.
Untuk itu, kata Edi, pentingnya pelibatan kesadaran masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah setempat untuk mencegah perluasan konsesi atau pembukaan lahan untuk tambang, kebun sawit berskala besar, selain juga untuk mencegah kebakaran lahan gambut.
“Setelah kami melakukan pendampingan kepada petani perkebunan kelapa sawit swadaya (PKS) dan plasma kelapa sawit yang awalnya pada saat akan membuka lahan dengan menguras air gambut dengan pembuatan kanal-kanal menyebabkan rentan kebakaran hutan, kini bisa mengelola lahannya ke arah yang benar, yakni dengan sistem restorasi lahan tanpa membakarnya dulu,” katanya.
Sistem ini, kata dia, dikenal dengan 3 R (Rewetting, Revegetation, Revitalization).
“Adapun R yang pertama adalah Rewetting; pembasahan kembali; pembangunan sekat kanal; penimbunan kanal; pembangunan sumur bor. Lalu Revegetation, yakni penanaman kembali; persemaian, pembibitan, penanaman, regenerasi alami, dan R yang terakhir Revitalization berupa peningkatan kesejahteraan dengan penanaman sagu, gelam, jelutung, talas rawa; ekowisata; perikanan,” imbuhnya.
Termasuk melakukan pencegahan kebakaran membangun learning plot untuk melaksanakan pertanian ramah gambut, pengembangan sistem paludikultur, dan peningkatan kapasitas melalui sekolah lapang bagi petani. Dan membangun 10 sekat kanal untuk mendukung rewetting gambut.
“Dari intervensi saat ini ada 2.461 hektare (ha) lahan gambut dipulihkan melalui kegiatan rewetting dan revegetation, sementara 11.945 ha digunakan secara berkelanjutan. Serta sebanyak 4.254 kepala keluarga memperoleh pendapatan yang beragam dari hasil pertanian,” paparnya.
Di samping itu, pihaknya melakukan pendampingan dalam pengelolaan agroforestri tradisional yang disebut tembawang. Selama ini dilakukan oleh masyarakat Dayak dengan mengombinasikan komoditas karet dengan pohon buah-buahan dan pohon berkayu. Karena sebelumnya, terjadi penurunan jumlah penerapan agroforestri karet akibat turunnya harga karet dan kenaikan harga minyak sawit yang menyebabkan banyak petani mengalihfungsikan tanamannya menjadi kelapa sawit dan bekerja sebagai buruh upahan di perusahaan kelapa sawit.
“Untuk itu, kami berupaya untuk mempertahankan agroforestri karet melalui peningkatan produksi dan fasilitasi pemasaran, mengoptimalkan upaya pemanfaatan jasa lingkungan dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK: Kepayang/Kluek (Pangium edule), serta menjaga Hutan Lindung Gunung Juring,” katanya.
Sampai saat ini, lanjut dia, Tropenbos telah memfasilitasi hutan desa kepada masyarakat sekitar hutan dengan skema pengelolaan perhutanan sosial seluas 30.000 hektare di 12 desa di Kabupaten Ketapang.
“Ini adalah wilayah konsesi di dalam batas wilayah desa untuk mengelola hutan desa selama 35 tahun, kemungkingan perpanjangan,” pungkasnya.
Kepala Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) wilayah Jawa, Danang Kuncara Sakti menjelaskan, dari target pengelolaan hutan 12,7 juta hektare tahun 2022, baru sekitar 8 juta hektare yang diberikan akses perhutanan sosial.
“Dari total luasan hutan sekitar 12,7 juta hektare, hanya sekitar 30 persen luasan hutan yang dikelola masyarakat, salah satunya diberikan akses untuk perhutanan sosial, memiliki nilai ekonomi,” ungkap Danang, saat memberikan sambutan mewakili Dirjen PSKL Kementerian Kehutanan, baru-baru ini.
Dikatakan Danang, pemanfaatan tata kelola hutan oleh masyarakat dikenal Agroforestri, yaitu kopi organik yang memanfaatkan kawasan hutan dengan menanam tanaman kopi di sela-sela tegakan vegetasi.
“Penanaman kopi dilakukan di pohon memanfaatkan pupuk kompos/kandang serta mengurangi pupuk kimia. Sehingga hutan tetap terjaga serta masyarakat beraktivitas dengan meminimalisir emisi karbon dari penggunaan pupuk kimia,” imbuhnya.
Pengelolaan hutan yang tepat sangat penting, lanjut Danang, termasuk menuju ekonomi hijau, pembangunan rendah karbon, kelestarian keanekaragaman hayati. Karena fungsi untuk penyerapan CO2 yang signifikan dan keseimbangan ekosistem lingkungan.
“Mengingat saat ini ada krisis global dampak perubahan iklim. Mulai meningkatkan polusi, gas rumah kaca, kepunahan kenanekaragaman hayati dan bencana alam,” katanya.
Sedangkan dari aspek ekonomi, jelas dia, perhutanan sosial telah memberikan dampak signifikan bagi kesejahteraan masyarakat.
“Nilai transaksi ekonomi Kelompok Usaha Perhutanan Sosial pada tahun 2023 yang kami catat melalui Sistem Informasi GoKUPS mencapai Rp 1,13 triliun (102,7 persen dari target yang ditetapkan sebesar Rp 1,1 triliun). Pada tahun 2024 ini target nilai ekonomi tersebut semakin ditingkatkan menjadi sebesar Rp 1,5 triliun,” pungkasnya.
Sementara, Director Communications BLDF, Mutiara Diah Asmara menjelaskan, kegiatan penanaman pohon telah dilakukan sejak tahun 1979 melalui Djarum Trees For Life. Dan pihaknya sudah melakukan konservasi Pantai Utara Jawa dimulai sejak 2008 hingga 2022 di kawasan konservasi Pantai Utara Jawa Tengah dan telah berhasil ditanam sebanyak 1.070.268 pohon mangrove.
“Selaian itu, konservai Lereng Muria juga wajib dilakukan untuk menjaga kesimbangan lingkungan hidup di tiga kabupatene yakni Kudus (Selatan), Pati (Timur), Jepara (Barat Laut). Sampai tahun 2020 tercatat lebih dari 149.000 pucuk pohon sudah di tanam. Lalu penanaman jenis trembesi berfungsi untuk pngurangan emisi karena mampu menyerap 28,5 ton per tahun, dan berfungsi untuk resapan air,” paparnya. (HS-06)