MENYEBUT kata Ondorante, tentu ingatan masyarakat Jawa Tengah wilayah Pantura tentu akan tertuju pada tokoh Ondorante yang jadi cerita rakyat masyarakat Kabupaten Pati. Ondorante diceritakan sebagai tokoh pendekar yang memiliki kesaktian, namun dengan kesaktiannya dia sering menggangu ketenangan masyarakat Pati hingga Mataram.
Pada masa lampau, di lereng gunung Muria, diceritakan bahwa Ondorante adalah sosok yang juga disegani dan hidup pada pertengahan abad 16 Masehi. Ondorante dikenal sebagai murid Sunan Muria (Umar Said). Tokoh ini juga diceritakan memiliki nama asli Mangun Harjo, putra seorang pedagang dan lahir di Lasem, Rembang. Kemudian dalam perkembangannya oleh tradisi lisan, masyarakat setempat mengabadikan sosoknya sebagai kawan karib Kiai Saridin alias Syeh Jangkung.
Namun berbeda cerita dengan masyarakat di Kota Semarang. Nama Ondorante dikenal bukan sebagai nama sosok jawara atau tokoh legenda. Ondorante di Kota Lunpia merupakan penyebutan untuk sebuah anak tangga yang sangat panjang di wilayah Pudak Payung, Kecamatan Banyumanik. Bangunan anak tangga dengan konstruksi beton ini dibuat di era kolonial Belanda.
Bangunan berupa jalur tangga membelah bukit Wungkal Kasap, yang merupakan gugusan bukit Pakintelan di Kecamatan Banyumanik tersebut, juga sempat jadi objek wisata murah meriah bagi warga Kota Semarang pada tahun 1960-1980-an. Karena lokasinya yang sepi, ada jalan setapak menaiki bukit, membuat banyak muda-mudi di Kota Semarang yang kerap menikmati sore hari sambil melihat kondisi kotanya dari atas bukit tersebut.
Tentu untuk menaiki tangga hingga di atas bukit, tak bisa dilalui dengan kendaraan bermotor. Masyarakat yang akan menuju ke atas bukit melalui Ondorante harus melalui jalur setepak melewati anak tangga satu demi satu.
Sayangnya, Ondorante kini tak lagi terawat, dan bangunan tangganya tertutup semak belukar. Apalagi saat musim hujan, kawasan itu menjadi licin dan semak belukar tumbuh liar menutup hampir seluruh bangunan anak tangga.
Jalur Ondorante, merupakan jalan setapak menuju lereng bukit Wungkal Kasap, merupakan gugusan bukit Pakintelan. Tepatnya di belakang Makodam IV/Diponegoro yang memiliki lebar jalan sekitar 30 centimeter saja. Dan Ondorante, posisinya terlihat membelah di tengah bukit, dengan panjang ratusan meter.
Untuk sampai di ujung kawasan itu, saat ini pun tak bisa ditempuh dengan kendaraan, karena harus melintasi wilayah Markas Kodam IV/Diponegoro.
Sehingga untuk menemukannya, halosemarang.id harus menyusurinya melalui Jalan Lempuyang, Banyumanik. Setelah sampai di ujung kampung, beberapa warga yang ditemui menyarankan untuk masuk ke jalan setapat di semak-semak dan berjalan kaki menyusuri anak tangga tersebut.
“Tak jauh dari bangunan berupa tangga kuno Ondorante, terdapat bangunan saluran berukuran besar, sebagai Pintu Air PDAM Wungkal Kasap. Semua bangunan itu dibangun pada era Belanda. Untuk tahun pembangunannya sendiri, saya belum tahu pasti kapan,” kata Widyarini, salah satu anggota Komunitas Pegiat Sejarah (KPS) Semarang, Jumat (11/10/2019).
Tangga Dilengkapi Rantai
Dia menambahkan, jalur di lereng bukit Wungkal Kasap, di mana terdapat jalur Ondorante, memang cukup ekstrem untuk dilalui. Lereng dengan kemiringan sekitar 40 derajat harus dilalui dengan berjalan kaki.
“Jika kita sampai ke atas tangga Ondorante, kita bisa melihat kawasan Kota Semarang dari ketinggian. Sejauh mata memandang, gugusan bukit Pakintelan berjajar dari selatan hingga utara, seperti hamparan permadani hijau. Jika dilihat dari utara, bukit Pakintelan dan bukit di belakang Kodam, seperti huruf V. Jika dari atas, aliran Kali Garang terlihat berkelok-kelok seperti dua huruf S bersusun. Kini kondisi bangunan bersejarah tersebut tidak terawat, sehingga sebagian besar telah tertutup rimbunnya semak belukar,” katanya.
Nama Ondorante, merupakan penyebutan masyarakat sekitar menggunakan istilah Jawa, Ondo (tangga) dan Rante (rantai besi). Dulunya, bangunan anak tangga kuno itu memang dilengkapi rantai di sisinya, sebagai pegangan bagi orang yang menaikinya. Namun rantai yang terbuat dari besi itu kini sudah tidak ada.
Menurut Slamet, warga Jalan Lempuyang, Ondorante sudah ada sejak zaman Belanda. Sebenarnya bangunan anak tangga ini dibuat agar mempermudah pengecekan pipa air dari Kalidoh dan mata air Mudal.
“Kalau di masa kolonial Belanda, zaman dahulu menyebutnya ‘leidingwater’. Untuk pegangan, ada rantai memanjang dari atas sampai bawah di kedua sisi bangunan tangga itu. Tujuannya agar saat hujan, petugas yang menaiki tangga itu tidak mudah terpeleset,” katanya.
Menurut Slamet, penyebutan Ondorante populer pada tahun 1960-1980-an. Dan saat itu, sering dimanfaatkan oleh pasangan muda-mudi untuk berwisata atau bahkan memadu kasih.
“Selain itu, Ondorante juga dimanfaatkan warga yang memilih jalur pintas ketika hendak pergi ke Pakintelan, Gunungpati. Dan keberadaan Ondorante juga tidak terpisahkan dari Kali Garang, yang mengalirkan air dari Kalidoh (Kabupaten Semarang) hingga pantai utara Kota Semarang. Karena memang fungsinya untuk pengecekan sumber air di wilayah itu,” katanya.(HS)