DI bawah langit Jawa Tengah yang selalu siap hujan mendadak, Kota Semarang Mei lalu merayakan ulang tahunnya yang ke-478 dengan ledakan warna-warni yang bikin mata melek.
Bukan pesta sederhana ala gotong royong, tapi “Semarang Night Carnival”, sebuah parade kostum tematik, musik jalanan, dan koreografi budaya yang menyulap Jalan Pemuda jadi catwalk ala Las Vegas versi hemat.
Ribuan orang berdesak-desakan, ponsel di tangan, sambil berteriak, “Wah, keren banget!” Tapi kalau diam-diam, ada yang bergumam: kok namanya Inggris semua, ya? Seolah-olah kata “malam” atau “mbengi” terlalu biasa untuk digabung dengan “karnaval”.
Event ini bukan kejadian sendirian dalam konteks penggunaan istilah asing untuk kegiatan kebudayaan. Pemkot Semarang punya daftar panjang kegiatan yang terdengar seperti judul film Hollywood berbiaya rendah.
Dulu ada “Semarang Bridge Fountain”, pertunjukan air menari di Jembatan Banjirkanal Barat yang katanya bikin malam Semarang “extra magical” dan gratis pula, tapi kini sudah tak ada lagi. Lalu “Semarang Old Town Festival” di kawasan Kota Lama, yang tahun lalu masuk 10 besar festival internasional meski isinya campur aduk antara seni rupa dan kuliner.
Belum lagi “Semarang Flower Festival” atau lebih tepatnya “Semarang Merdeka Flower Festival”, rangkaian festival bunga-bunga mekar di akhir pekan yang katanya siap meriahkan kota.
Semua ini, seperti resep masakan yang enak tapi bumbunya impor. Menarik, tapi rasanya kurang nendang di lidah sendiri.
Lihat saja daftarnya: night, bridge, old town, flower, 10K, dan lain-lain. Seolah Pemkot Semarang punya alergi berat terhadap kamus bahasa Indonesia. Atau mungkin, ada rapat khusus di balik layar di mana pejabat bergantian bilang, “Kalau pakai nama lokal, wisatawan asing kabur, loh. Mereka cuma kenal ‘carnival’, bukan ‘pesta rakyat’.”
Ironisnya, event-event ini justru dirancang untuk promosi wisata, tapi namanya malah bikin Semarang terdengar seperti kota satelit di pinggiran London.
Padahal, data dari Dinas Pariwisata Jateng menunjukkan, bahwa pengunjung ke Semarang naik 15 persen tahun lalu berkat event budaya, tapi berapa banyak yang ingat “Semarang Night” daripada cerita Warak Ngendog? Ini seperti jualan batik tapi bungkusnya kertas koran berbahasa Mandarin, mau siapa yang penasaran?
Nah, kalau urusan nama event, Semarang sebenarnya punya harta karun di halaman belakang sendiri yang jarang disentuh. Coba ingat “Dugderan”, tradisi akulturasi Jawa-Tionghoa-Islam yang sudah berusia ratusan tahun, dengan simbol mahluk mitologisnya Warak Ngendog.
Setiap jelang Ramadan, ribuan orang memadati Kampung Kauman untuk lihat Warak Ngendog, makhluk mitos campuran kambing, naga, dan buraq, berbaris di jalanan.
Bukan cuma parade, tapi cerita hidup tentang perpaduan budaya yang bikin wisatawan lokal antre foto-foto. Tahun ini saja, Dugderan jadi senjata promosi wisata Semarang yang efektif, tarik ribuan pengunjung tanpa perlu tambah “festival” di belakangnya.
Atau Gebyur Bustaman, pesta sambut Ramadan di mana warga saling siram air bunga sebagai simbol cuci dosa. Acara ini bukan sekadar basah-basahan, tapi simfoni budaya yang ajak orang renungkan spiritualitas sambil ketawa-tawa.
Tradisi unik yang makin diminati, lengkap dengan kreativitas warga yang bikin festival ini hidup tanpa embel-embel Inggris. Kalau Pemkot angkat nama-nama ini sebagai headline event, mungkin Semarang tak perlu repot cari sponsor internasional, cukup cerita soal “gebyur” yang bikin penasaran siapa saja.
Beralih ke luar Semarang, daerah lain justru unggul dengan nama lokal yang punya daya pikat alami. Di Bali, Ngaben bukan sekadar upacara kremasi, tapi ritual suci yang tarik jutaan wisatawan setiap tahun.
Mereka datang bukan karena “Cremation Ceremony”, tapi karena “Ngaben”, suara itu sendiri yang bercerita tentang siklus hidup dan kematian dalam budaya Hindu Bali.
Begitu juga Ngabuburit, istilah Sunda untuk menghabiskan waktu menunggu maghrib saat puasa, yang kini jadi tren nasional.
Tak perlu tambah “waiting festival“, namanya saja sudah cukup bikin orang ingin ikut merasakan.
Yang terbaru, Pacu Jalur di Riau, lomba perahu panjang di Sungai Kuantan yang kini viral global. Festival ini bagian dari Kharisma Event Nusantara, tarik ribuan penonton domestik dan mancanegara dengan suara dayung dan sorak-sorai yang bergema.
Bahkan event ini disebut sebagai ikon budaya yang sukses jadi magnet dunia, dari tradisi lokal jadi tren “aura farming” di TikTok, tanpa perlu ganti nama jadi “Boat Race International”.
Kalau Semarang ikut tren ini, “Semarang Night Carnival” bisa jadi “Gebyar Malam Semarang”, masih kinclong, tapi lidahnya lebih dekat rumah.
Atau “Mlayu Neng Kreo” untuk ganti 10K atau berapa K, biar lari-larinya terasa seperti kabur dari kawanan kera, bukan cuma capai target kilometer.
Tapi serius, kenapa Pemkot Semarang begitu giat angkat nama asing? Mungkin ada ketakutan tersembunyi: takut nama lokal terdengar kampungan di telinga turis backpacker.
Padahal, justru itulah magnetnya, kearifan yang tak bisa diterjemahkan begitu saja. Di Riau, Pacu Jalur naik daun karena cerita aslinya: perjuangan suku Melayu lawan arus sungai, lengkap dengan meriam karbit yang meledak gembira.
Wisatawan datang penasaran, pulang bawa cerita yang tak tergantikan. Ironinya, kalau Semarang terus pakai “night” dan “festival“, event-nya mungkin ramai sesaat, tapi lupa di ingatan. Seperti makan lumpia tanpa saus cocolan, enak, tapi kurang greget.
Sekarang, saatnya balik ke akar. Pemkot Semarang, coba sekali saja: mengangkat satu event dengan nama dan semangat kearifan lokal murni.
Siapa tahu, besoknya turis asing malah belajar ucap “gebyur” sambil siram air, dan Semarang jadi kota yang tak cuma indah di permukaan, tapi juga lucu di telinga. Kalau enggak, ya sudahlah, kita tetap datang.
Tapi ingat, pesta terbaik selalu yang bikin kita pulang sambil senyum, sambil bilang, “Ini baru Semarang banget.”(Tulisan ini disempurnakan oleh AI-HS)


