PARA pejuang kemerdekaan dulu bertaruh nyawa melawan penjajah, tapi kalau mereka tiba-tiba muncul di tengah hiruk-pikuk Jakarta sekarang, mungkin langsung garuk-garuk kepala.
Soekarno mungkin bilang, “Lho, ini republik yang aku proklamirkan kok jadi seperti pasar malam, di mana-mana orang jual beli jabatan?”
Atau Cut Nyak Dhien langsung ambil rencong, tapi bukannya lawan Belanda, malah kebingungan lihat berita korupsi yang numpuk seperti sampah di sungai Ciliwung.
Kondisi Indonesia hari ini, dengan korupsi yang nyebar dari kampung kecil sampai istana, eksploitasi alam yang bikin hutan botak, penyerobotan lahan adat oleh perusahaan rakus, dan birokrasi yang lebih mirip sarang tawon korup, pasti bikin para pahlawan yang dulu memperjuangkan kemerdekaan bangsa itu geleng-geleng kepala.
Mereka gugur demi tanah air yang adil makmur, tapi sekarang? Seolah-olah perjuangan mereka cuma jadi cerita dongeng di buku sejarah.
Ambil contoh korupsi, yang sudah jadi menu harian di berita. Belum lama ini, gubernur Riau Abdul Wahid jadi tersangka korupsi proyek jalan tahun anggaran 2025, atau terbaru operasi tangkap tangan Bupati Ponorogo yang diduga terlibat dalam kasus korupsi jual beli jabatan. Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko terjerat operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (7/11/2025).
Ironisnya, kasus megakorupsi seperti di Pertamina rugikan negara Rp 193,7 triliun, sementara rakyat kecil antre bansos yang bocor di tengah jalan.
Korupsi ini bukan cuma soal uang hilang, tapi juga bikin negara jadi lemah, seperti rumah yang fondasinya mulai ambrol. Para pahlawan kemerdekaan yang gugur di medan perang pasti heran, kenapa perjuangan mereka yang penuh darah sekarang diganti dengan pesta suap-suapan di ruang rapat.
Lalu, lihat bagaimana alam Indonesia dieksploitasi tanpa ampun.
Di Raja Ampat, tambang nikel bikin hutan rusak dan masyarakat lokal kehilangan mata pencaharian, sementara pencemaran air dari penambangan emas ilegal di Murung Raya bikin sungai keruh seperti kopi tubruk yang kebanyakan ampas.
Sebanyak 47 perusahaan terlibat dalam kerusakan lingkungan, dari degradasi tanah sampai hilangnya biodiversitas. Kalau Diponegoro bangkit, dia mungkin bilang, “Dulu aku lawan VOC yang rampas tanah, sekarang perusahaan modern yang rampas hutan?”
Fakta bilang, eksploitasi alam ini bikin banjir bandang dan kekeringan jadi tamu tetap, sementara untungnya mengalir ke kantong segelintir orang.
Alam yang dulu jadi benteng pertahanan sekarang jadi korban, dan para pahlawan pasti nyesel kalau tahu perjuangan mereka berakhir dengan pohon ditebang buat pabrik yang investornya dari bangsa asing.
Transisi ke penyerobotan lahan adat, yang makin parah seperti virus yang nyebar. Di Merauke, sebuah perusahaan dituduh serobot tanah adat suku Yei, bahkan pakai alat berat bongkar hutan tanpa musyawarah. Warga Dayak Agabag di Kalimantan protes perampasan tanah, sementara di Halmahera Timur, masyarakat blokade tambang nikel karena lahan adat dirampas.
Di Banten, 52 hektare lahan diserobot perusahaan tambang, dan konflik agraria di Kalimantan Barat antara masyarakat adat dengan perusahaan makin memanas. Ironinya, ini atas nama pembangunan, tapi yang untung perusahaan, sementara masyarakat adat cuma dapat janji kosong.
Pattimura mungkin akan geleng-geleng, “Dulu kita rebut Maluku dari Portugis, sekarang malah perusahaan rebut tanah kita sendiri?”
Lahan adat yang jadi warisan leluhur sekarang jadi komoditas, dan perlawanan warga sering berakhir di pengadilan atau intimidasi.
Sekarang, bicara birokrasi yang korup, yang seharusnya jadi tulang punggung negara malah jadi beban. Reformasi birokrasi dari 2010-2025 gagal tekan korupsi, malah korupsi jadi lebih sistemik dan nyebar ke semua lapisan.
Aksi pencegahan korupsi 2025-2026 seakan cuma basa-basi, sementara agenda reformasi tak kunjung tuntas setelah 27 tahun. Korupsi di birokrasi seperti jamur di musim hujan, dari suap kecil di kantor kelurahan sampai megakorupsi di kementerian.
Situasi ini lucu tapi getir, karena birokrasi yang lambat dan korup bikin rakyat capek antre surat, sementara pejabat santai di mobil mewah ditemani gundik yang tak pernah puas dengan vasilitas supermewah.
Kalau para pahlawan ini tiba-tiba hidup dan bicara ke generasi sekarang, pesannya pasti pedas tapi penuh harap. “Anak muda, jangan biarkan negara ini jadi mainan oligarki! Korupsi ini seperti penjajah baru, lawan dengan integritas!”
Mereka bakal ingatkan, bahwa kemerdekaan bukan cuma bendera merah putih yang berkibar, tapi tanggung jawab jaga negara dari dalam.
“Yuk, bersihkan dulu sampah korupsi ini, biar negara nggak jadi tempat piknik maling.”
Selamat Hari Pahlawan.(Tulisan ini disempurnakan oleh AI-HS)


