KEMARIN, tanggal 5 November 2025, Kota Semarang lagi-lagi ramai melaunching dua bus listrik Trans Semarang, yang mulai diuji coba di koridor 1, dari Mangkang sampai Simpang Lima.
Gratis total, warga langsung antre foto-foto, posting di Instagram dengan caption “Akhirnya Semarang go green!”
Tapi kok perut ini mules, seperti makan sate pentol pedas yang enak di awal, tapi besoknya mules berhari-hari.
Ingat nggak, pola ini sudah biasa.
Tahun 2019, Pemkot Semarang juga heboh banget pas launching 72 bus Trans Semarang atau Bus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang yang dikonversi pakai bahan bakar gas. Keren. Visioner!!
Kerja sama dengan Jepang, katanya emisi turun 40 persen, hemat 30 persen, tabung gasnya mungkin anti peluru, hahahaa.
Wali kota waktu itu sampai bilang ini revolusi transportasi ramah lingkungan. Eh, sekarang bus-bus itu pada kemana? Saat ini BRT Trans Semarang banyak yang masih ngebul hitam pekat. Bahkan warga menjuluki “cumi-cumi darat”.
Katanya sudah bahan bakar gas, eh kok asapnya lebih tebal dari kabut pagi di Gunung Ungaran. Tabung gasnya mungkin sudah dipindah ke warung sate, atau jadi pemanas suhu kota.
Lanjut ke 2020, pas pandemi semua orang pada gowes biar sehat. Pemkot Semarang buru-buru bikin jalur sepeda, mulai dari depan Kantor Pos Johar, lewat Jalan Pemuda, Pandanaran, lingkar Simpang Lima, sampai Gajah Mada.
Garis hijau mengkilat, rambu baru, pejabat potong pita sambil bilang “Semarang ramah pesepeda!”
Eh, dua tahun kemudian, markanya pudar, jalurnya jadi… entahlah, mungkin jadi batas parkir liar.
Pesepeda balik lagi ke pinggir jalan, main petak umpet sama motor. Jalur sepeda itu sekarang cuma coretan hijau di Google Maps, seperti bekas cat semprot anak graffiti yang salah sasaran.
Belum selesai, tahun 2021 muncul ide jenius: pasang sprayer pendingin otomatis di traffic light. Biar pengendara motor nggak kepanasan nunggu lampu merah. Uji coba di Balai Kota, hembusan udara mengandung air nyemprot segar, anggaran Rp 200 juta untuk tiap unit siap digelontor.
Katanya bakal dipasang di puluhan titik traffic light jalan protokol. Eh, sekarang, saat kemarau, cuaca 35 derajat, pengendara motor masih gosong kayak sate ayam bakar.
Sprayer-nya mana? Mungkin alatnya sudah dipindah ke waterboom atau jadi penyiram tanaman di taman kota. Ironi banget: katanya pendingin pengendara, eh malah pendingin anggaran.
Dari bus gas yang jadi cumi-cumi, jalur sepeda yang jadi parkiran, sprayer yang menguap entah kemana, pola ini jelas: launching meriah, foto rame, berita viral, terus… poof! Hilang ditelan bumi Semarang, seperti kasus pembunuhan ASN Bapenda Iwan Budi yang juga tak ada kabar lagi.
Kayak serial Netflix yang season 1-nya bagus, tapi season 2 batal gara-gara rating drop.
Sekarang bus listrik lagi diuji coba. Dua armada, big bus sama medium bus, katanya bakal ganti semua bus diesel tahun depan.
Semoga kali ini beda. Jangan sampai tahun 2027 kita lihat bus listriknya pada mogok di tengah jalan karena charging station-nya cuma satu, atau baterainya rusak akibat nerjang banjir.
Atau lebih parah, bus listriknya jadi monumen di Kecamatan Tugu, ditempeli stiker “Dulu pernah uji coba di sini, tapi mogok karena terendam banjir”.
Semarang ini ibarat temen yang suka janji ketemu, tapi selalu cancel terakhir menit. Janji manis di awal, lupa di akhir.
Tapi ya sudahlah, yang penting launching-nya selalu meriah. Biar warga punya cerita baru tiap tahun: “Eh, dulu pernah ada proyek gitu lho…” Sambil nunggu proyek berikutnya: mungkin bus terbang Trans Semarang, atau jalur sepeda di awan.
Siapa tahu, kan Semarang, apa pun bisa hilang dalam sekejap.(Tulisan ini disempurnakan oleh AI-HS)


