in

Bak Abu Nawas, Gaya Unik Agustina Wilujeng Dalam Memimpin Kota Semarang

Wali Kota Semarang, Agustina Wilujeng.

DI balik hiruk-pikuk lalu lintas Simpang Lima yang tak pernah reda, Wali Kota Semarang, Agustina Wilujeng Pramestuti tampil dengan gaya kepemimpinan yang katanya revolusioner: bukan lagi bergantung pada birokrasi konvensional, melainkan dibantu skuad khusus dari kalangan swasta.

Bayangkan saja, seperti sutradara film blockbuster yang merekrut produser eksternal untuk percepat syuting, Bu Agustina –sebagaimana ia akrab disapa– membentuk Tim Percepatan dan Pengendalian Pembangunan Kota Semarang (TP3KS) melalui Peraturan Wali Kota Nomor 10 Tahun 2025, yang ditetapkan pada 24 Februari 2025, baru dua hari setelah pelantikannya.

Inovasi ini, yang membedakannya secara mencolok dari pendahulunya, seolah menjadi panggung teater politik di mana aktor utama berjanji akselerasi pembangunan, sementara penonton (warga Semarang) bertanya-tanya apakah ini klimaks sukses atau sekadar plot twist yang berujung kontroversi.

Transisi dari era wali kota sebelumnya terasa seperti lompatan dari sepeda ontel ke motor listrik: cepat, tapi rawan tergelincir jika tidak hati-hati. Hevearita Gunaryanti Rahayu, yang menjabat sejak 2022 hingga Februari 2025, lebih dikenal dengan pendekatan inklusif melalui program-program sosial seperti penanganan banjir dan pemberdayaan UMKM, urban farming, dan lainnya tanpa melibatkan tim eksternal semacam ini.

Sebelumnya, Hendrar Prihadi (memimpin dua periode panjang dari 2013 hingga 2022) fokus pada infrastruktur kota, seperti revitalisasi kawasan tua dan transportasi massal, dengan mengandalkan struktur organisasi perangkat daerah (OPD) yang mapan.

Lalu, ada Soemarmo HS (2010-2013) yang menekankan efisiensi birokrasi pasca-era Sukawi Sutarip (2000-2010), di mana yang terakhir lebih condong ke pengembangan ekonomi kreatif tanpa sentuhan “tim percepatan” yang berbau swasta.

Agustina Wilujeng, dengan latar belakang sebagai akademisi dan aktivis perempuan, seolah ingin menulis bab baru: “Pemerintahan 2.0” di mana swasta menjadi co-pilot, bukan lagi penonton dari pinggir lapangan.

Pembentukan TP3KS, sebagaimana diatur dalam Perwali Nomor 10/2025, bukanlah sekadar formalitas administratif. Dokumen itu secara eksplisit mendefinisikan tim ini sebagai “penunjang Wali Kota dalam rangka percepatan dan pengendalian pembangunan kota”, dengan tugas mencakup koordinasi proyek strategis, monitoring kinerja OPD, serta rekomendasi kebijakan berbasis data.

Susunan organisasinya ramping: lima anggota saja, di mana empat berasal dari sektor swasta dan satu dari kalangan aparatur sipil negara (ASN) Pemkot Semarang. Mereka adalah Drs Gunawan Permadi, MA (Media/jurnalis); Dr H Teguh Hadi Prayitno, MM, MH, M.Hum (akademisi dengan bassis jurnalis); Muhammad Aulia Assyahiddin (jurnalis/Ketua KPID Jateng); Marius Yosep Sutedjo, A.Md (Lembaga Swadaya Masyarakat); serta Drs. Hernowo Budi Luhur, SH, MH (ASN).

Pernyataan resmi dari Pemkot Semarang menegaskan bahwa tim ini “berfungsi sebagai katalisator, bukan pengganti OPD, untuk mencapai target RPJMD 2025-2029 seperti peningkatan IPM hingga 75 poin dan penurunan kemiskinan menjadi 7,5 persen”.

Nada optimis ini seolah melukis visi kota yang melaju kencang, tapi benarkah roda itu berputar tanpa gesekan?

Di balik kilau janji percepatan, bayang-bayang kritik mulai menyelimuti khususnya di ranah dunia maya. Sejak diumumkan pada Maret 2025, TP3KS menjadi magnet kontroversi, dengan masyarakat sipil menyoroti potensi pemborosan anggaran dan persoalan lainnya.

Pada akhirnya, keberadaan TP3KS menempatkan kepemimpinan Agustina di persimpangan: satu sisi, potensi akselerasi pembangunan yang signifikan melalui injeksi ide swasta; sisi lain, bayang-bayang politik balas jasa yang berpotensi merusak citra birokrasi Semarang yang sudah rapuh.

Seperti komedi politik ala Semarang (kota yang memikat dengan lumpia dan bandengnya, tapi sering tersandung isu tata kelola) inisiatif ini mengajak kita bertanya: akankah tim ini menjadi katalisator sejati, atau sekadar aksesori mewah yang mahal harganya?

Parlemen Medsos

Seolah menari di atas benang tipis, Wali Kota Semarang, Agustina Wilujeng Pramestuti muncul sebagai sosok yang mengingatkan pada legenda Abu Nawas: sang pendongeng Baghdad yang selalu punya cara cerdik untuk mengurai simpul masalah.

Bukan dengan teka-teki atau anekdot jenaka, melainkan melalui skuad khusus yang ia susun bak labirin. Labirin ini sekaligus benteng yang susah ditembus siapapun, tanpa kata kunci tentunya. Jika tahu jalur rahasianya, cepat sampai ke tujuan. Jika tidak, ya maaf.

Inovasi ini, yang membedakannya secara mencolok dari parade wali kota sebelumnya, mengundang tawa getir sekaligus kekaguman: apakah ini resep mujarab untuk akselerasi pembangunan, atau sekadar trik sulap untuk tujuan tertentu?

Bayangkan transisi dari era pendahulu yang lebih mirip perjalanan kereta api: stabil, tapi lambat, dan penuh rel birokrasi. Kini berubah dalam transisi yang terasa seperti lompatan dari dongeng rakyat ke sinetron modern, penuh plot twist yang bikin penonton terkekeh sekaligus curiga.

Pembentukan Tim Percepatan dan Pengendalian Pembangunan (TP3KS), bukanlah sekadar catatan kaki administratif, melainkan blueprint yang Agustina lukis dengan tangan mantap.

Dokumen itu secara rinci menggariskan tim ini sebagai “penopang utama Wali Kota dalam mengakselerasi proyek strategis dan mengawasi dinamika pembangunan”, dengan mandat mencakup koordinasi antar-OPD, pemantauan kinerja berbasis data, serta penyusunan rekomendasi kebijakan yang selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025-2029.

Susunannya ramping bak pesulap yang tak mau ribet: lima anggota saja. Ada yang jadi konsultan manajemen yang andal mengurai simpul organisasi, ada marketing, ada spesialis logistik yang siap mengalirkan barang dan ide tanpa macet, serta ada yang mengatur lalu lintas administrasi dan kebirokrasian. Cukup.

Seolah Agustina berpikir seperti Abu Nawas: hadapi banjir birokrasi dengan memanggil nelayan swasta, bukan mengandalkan perahu resmi yang bocor.

Namun, seperti teka-teki Abu Nawas yang sering berujung pada jebakan halus, kehadiran TP3KS ini pun mengundang sorak-sorai kritik yang bergema seperti kokokan ayam jantan di pagi buta.

Salah satunya gelombang kritik yang membuncah di ranah digital, dengan diskusi di media sosial yang menyoroti potensi intervensi tim terhadap proyek OPD tanpa transparansi akuntabel, seolah membuka pintu lebar untuk konflik kepentingan. Selain itu risiko korupsi mengintai jika pengawasan longgar.

Agustina merespons tudingan itu dengan senyum khasnya: “Kritik ini seperti bumbu pada lumpia –pedas, tapi membuatnya lebih lezat. TP3KS terbuka untuk audit, dan kami siap membuktikan nilai jiwanya.” Intinya saja begitu.

Pada titik ini, transisi dari euforia inovasi ke bayang-bayang skeptisisme terasa alami seperti aliran air di Banjir Kanal Barat: mengalir deras, tapi penuh lumpur.

Seperti Abu Nawas yang menyelesaikan teka-teki raja dengan candaan yang menyiratkan kebenaran tersembunyi, Agustina mengajak kita bertanya: akankah tim ini menghadirkan percepatan signifikan, seperti jalan tol baru atau taman kota yang hijau, atau justru menjadi metafor baru untuk praktik politik balas jasa yang merusak citra birokrasi Semarang?

Di kota yang memikat dengan bandeng presto dan gule Bustamannya, inisiatif ini menggelitik imajinasi: mungkin Agustina Wilujeng sedang menyusun dongeng baru, di mana swasta menjadi pahlawan, tapi warga tetap penonton yang bijak.

Hingga munculnya anasir “musuh buatan” yang sedang ramai bersuara di media sosial (medsos), yang difungsikan sebagai parlemen medsos (saat parlemen di legislatif dinilai tak efektif), sekaligus mengcluster (kurangan babi) potensi munculnya musuh alami dengan menciptakan narasi seolah-olah ada oposisi.

Parlemen medsos ini sekaligus juga difungsikan sebagai peran kontrol (fungsi pengawasan) tim TP3KS. Agar langkahnya tak offside, yang bisa menjadi celaka bagi wali kota.

Namun apapun itu, mari kita saksikan –sambil menyeruput kopi– apakah sulap ini berakhir bahagia atau dengan hembusan angin politik yang dingin.

Salam..(HS)

Perkenalkan Gas Nikah, Kemenag RI Soroti Tren

Bank Jateng Bersama OJK Gelar Program Gencarkan untuk Pemberdayaan UMKM di Kudus