
LAKON Mustakaweni yang dibawakan oleh wayang panggung atau wayang orang Ngesti Pandawa Semarang pernah diundang untuk tampil di Jakarta pada tahun 1954. Penampilan ini menjadi salah satu bukti jika wayang Ngesti Pandawa Semarang sangat tenar pada zamannya. Bagaimana tidak, wayang orang Ngesti Pandawa yang didirikan pada 1937 oleh Ki Sastrosabdo di Jawa Timur tersebut setiap kali pentas di banyak tempat, penontonnya selalu membeludak.
Sehingga hal ini membuat Presiden pertama Indonesia, Soekarno meminta Ngesti Pandawa untuk pentas di Istana Merdeka. Saat pentas, Soekarno sangat terkesan dengan adegan Bambangan Cakil. Di mana tokoh Bambang Priambodo yang diperankan oleh Sarminto. Sedangkan tokoh Cakil diperankan oleh Sutjipto Dihardjo.
Presiden Soekarno, paling mengagumi adegan Bambangan Cakil yang diperankan oleh Suwarni dan Sutjipto Dihardjo, dengan diiringi permainan kendang Nartosabdo. Bahkan, dalam beberapa kesempatan ketiga seniman itu diundang khusus untuk pentas Bambangan Cakil di Istana Merdeka untuk menghibur para tamu negara.
Saking seringnya diundang itu, sampai ada yang mengatakan bahwa mereka adalah pemeran Bambangan Cakil kesayangan Presiden Soekarno. Begitulah sisa kenangan kesuksesan semasa Ngesti Pandawa pada era keemasannya, sekitar tahun 1960nan.
Ketua Wayang Orang (WO) Ngesti Pandawa, Joko Mulyono mengatakan, ketenaran Ngesti Pandawa sekitar tahun 1960an dibuktikan dengan seringnya diundang ke Istana jika ada tamu negara.
“Saat pentas, Ngesti Pandawa terkenal dengan trik malihan, silih rupa, kemudian setanan. Kemudian adegan Gatot Kaca terbang,” katanya saat ditemui di TBRS, Selasa (2/6/2019).
Joko menambahkan, bahkan beberapa kali saat Presiden Soekarno kunjungan ke Semarang sempat melihat Ngesti Pandawa pentas di GRIS Jalan Pemuda, yang saat ini menjadi Paragon Mal. Karena besarnya perhatian terhadap kesenian dari pemerintah pada waktu itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah No 26 tahun 1960, Presiden memberikan piagam Penghargaan bernama “Wijayakusuma” yang diberikan kepada Ngesti Pandawa, yang diterima pada 16 Agustus 1962.
Ngesti Pandawa sendiri, lanjut Joko, awalnya, pada tahun 1937-1945 kerap tampil di pasar malam bernama orange di Jawa Timur.
“Panitianya orang Belanda semuanya, sehingga dinamakan pasar orange,” katanya.
Sejak tahun 1954, Ngesti Pandawa menetap di Semarang.
“Tahun 1950 dulu juga pernah pentas di daerah Mangunsarkoro yang kini jadi Stadion Diponegoro. Lalu didengar oleh Wali Kota Hadi Subeno yang memimpin pada saat itu dan diberikan tempat di GRIS Jalan Pemuda yang sekarang menjadi Paragon Mal. Banyak suka duka di dekade 1950-1970 itu, dan Ngesti Pandawa mengalami zaman keemasan,” paparnya.
Ngesti Pandawa beberapa kali pindah tempat, sebelum menempati di kompleks TBRS sekarang ini. Pernah di GRIS Jalan Pemuda sampai tahun 1994, kemudian dua tahun 1994-1996 di gedung pertemuan kompleks TBRS, dan pada tahun 1996 pindah di istana Majapahit. Baru tahun 2001 pindah di gedung Nartosabdo, di kompleks TBRS sampai saat ini.
“Tapi kondisi Ngesti Pandawa pada tahun 1980an sampai sekarang mengalami kemerosotan. Karena lima orang pendiri Ngesti Pandawa telah wafat. Selain itu, dengan adanya perkembangan teknologi, sangat berat sekarang bagi kami kesenian tradisional ini untuk bersaing. Namun kami berusaha bagaimana caranya supaya kesenian tradisional ini masih bisa dikenal oleh masyarakat luas, khususnya generasi muda,” urainya.
Pihaknya juga berusaha memadukan teknologi dengan konsep wayang orang. Misalnya saat pementasan, telah memakai LCD agar memudahkan penonton yang tidak bisa bahasa Jawa, sehingga diterjemahkan ke dalam teks bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
“Karena setiap pentas ada beberapa turis yang menonton. Adapun untuk tiketnya sekarang sudah online. Harganya Rp 30 ribu. Kalau saat pentas khusus, harga tiket Rp 30 ribu untuk di balkon, sedangkan di VIP (kursi bawah-red) harga tiket Rp 100 ribu,” terangnya.
Sementara itu, untuk melestarikan kesenian wayang, pihaknya memiliki program mengenalkan wayang bagi pelajar sekolah. Program ini bekerja sama dengan pemerintah kota dan sudah berjalan namun belum maksimal.
“Ini usaha kami untuk melakukan inovasi, jangan sampai punah kesenian ini,” ujarnya.
Memang selama ini ada bantuan pemerintah untuk Ngesti Pandawa sampai tahun 2014, yang dianggarkan oleh APBD Provinsi Jawa Tengah. Namun sejak tahun 2015 sampai sekarang, bantuan tersebut berhenti. Karena persoalan dana bansos yang sempat jadi masalah sehingga berdampak pada berhentinya bantuan untuk Ngesti Pandawa.
“Sementara untuk dukungan dari pemkot sendiri saat ini berupa fasilitas untuk memakai gedung di TBRS. Dipakai untuk pentas reguler setiap malam Minggu. Sedangkan hari lain, dipakai juga oleh para pelaku kesenian lainnya. Mestinya pemerintah memikirkan bantuan dari segi lainnya, karena Ngesti Pandawa merupakan aset Pemerintah Kota Semarang. Kondisi sekarang untuk tiap kali pentas, kami selalu tombok. Karena antara pendapatan dari tiket penonton tak sebanding dengan biaya produksi yang lebih besar,” katanya.
Salah satu pelaku seni di Kota Semarang, Daniel Hakiki mengatakan, sebenarnya kesenian wayang orang Ngesti Pandawa sudah menjadi identitas Kota Semarang. Karena kesenian wayang orang di Indonesia yang masih ada hanya tinggal tiga kelompok, yaitu Bharata di Jakarta, Sriwedari di Solo, dan Ngesti Pandawa di Semarang.
Menurutnya untuk membuat Ngesti Pandawa kembali eksis dan lebih besar, yang paling penting harus ada niatan lebih dulu dari pemerintah, dalam hal ini baik pemprov maupun pemkot setempat.
“Pasalnya, dulu Ngesti Pandawa pernah menjadi kebanggaan warga Kota Semarang, khususnya kesenian wayang orang. Bahkan salah satu seniman Ngesti Pandawa Ki Nartosabdo diberi penghargaan berupa jas oleh Presiden Soekarno saat bertemu di GRIS,” katanya.
“Di lain pihak, Ngesti Pandawa juga harus kreatif jangan mengandalkan bantuan pemerintah saja. Dan membangun inovasi-inovasi untuk makin maju dan berkembang,” pungkasnya.(HS)