MENYUSURI jalan raya di Kota Semarang saat pagi atau sore hari, tentu sangat akrab dengan kemacetan. Jalan-jalan protokol seperti Kedungmundu, Tlogosari, Jalan Majapahit, Sampangan, atau ruas jalan di Ngaliyan bukan lagi sekadar aspal dan marka, melainkan ladang perang kecil: medan perjuangan antara manusia dan kesabaran.
Jam pagi dan sore di Semarang berubah begitu sakral, sebagai waktu di mana segala sesuatu harus melambat. Anda tidak hanya berjalan kaki lambat, tapi kendaraan pun berlatih slow motion di jalan raya. Di Jalan Kedungmundu Raya, saat sore hari mobil yang seharusnya melaju dengan kecepatan normal berubah menjadi rombongan siput protokol.
Di Tlogosari, lalu lintas pagi dan sore hari kadang tersendat di arah menuju Jalan Supriyadi atau hendak ke Arteri Soekarno Hatta.
Sekilas, penduduk kota itu seperti aktor dalam film aksi perlahan yang gagal: adegan “lari dari macet” ditunda, diganti adegan “menyerah di kemacetan.”
Jalan Kedungmundu, dulu mungkin hanya jalur penghubung biasa, kini seakan menyandang status jalan paling dramatis. Saat pagi, mobil-mobil merangkak bak ulat raksasa berebut ruang; saat sore, rombongan motor seperti berpawai mencari celah sempit. Jika setiap mobil diberi kursi malas, mungkin semua sopir akan duduk, menyeruput kopi, dan membaca buku—karena mereka “berwisata” di jalan.
Ngaliyan pun tak kalah dramatis. Ketika hendak menuju Krapyak, kendaraan dari kiri, kanan, depan, belakang, semua masuk jebakan macet. Toko-warung pinggir jalan ikut tersandera laju kendaraan. Pejalan kaki? Mereka bisa memilih: mengantre di tepi trotoar atau menjadi penonton drama macet gratis.
Kemacetan itu seperti unjuk rasa kendaraan melawan waktu: Seruan motor, klakson tertahan, dan lampu sein saling berseteru.
Dari Kedungmundu melesat ke Ngaliyan dan sebelumnya mampir ke Tlogosari dan Sampangan, kita bisa menjumpai titik-titik “sakit” lalu lintas yang khas: pintu keluar tol, simpang ramai, bangjo (traffic light), atau ruang median yang menyusut. Di saat orang berharap “jalan lancar” seperti kata slogan kota (Semarang punya motto ATLAS — Aman, Tertib, Lancar, Asri, Sehat), kenyataannya banyak ruas kehilangan kata “lancar”.
Ironisnya, lampu merah bukan agar aman, melainkan agar kesempatan menyelip menjadi sedikit, karena terlalu pendek, mobil belum sempat berpikir “akan belok ke mana.”
Transisi antarruas itu membuat pengendara seperti pemain catur: satu langkah yang salah, tertahan di persimpangan. Dan ketika tindakan pemerintah memperbaiki satu ruas, ruas lain mendadak jadi pahlawan kemacetan baru. Maka strategi macet kota layaknya permainan puzzle: jika satu ubin digeser, ubin lain ikut terombang-ambing.
Meski warga Kota Semarang secara aktif menggunakan media pengaduan, seperti sistem Lapor Semar atau aduan ke Dishub dan wali kota, terkait titik-titik kemacetan, misalnya di pertigaan Sendangguwo-Kedungmundu, namun problem itu masih menjadi momok para pemburu waktu.
Jadi, kemacetan bukan sekadar takdir kota, melainkan hasil dari manipulasi ruang, pertumbuhan kendaraan yang tak terkendali, dan sedikit tipu daya manajemen lalu lintas.
Motor pun ikut protes: “Hemat bensin dong, kita juga mau berarti di kemacetan ini!” Lalu pengendara BRT Trans Semarang terlihat seperti pahlawan lelet — meski mengendarai kendaraan besar, mereka ikut “berkhotbah” melaju pelan agar tidak ditinggal. Asapnya mengepul hitam sampai dijuluki cumi-cumi darat.
Akhirnya, kemacetan Kota Semarang bukan saja soal kendaraan yang berjubel di jalan, tetapi juga soal sistem kota yang belum bisa menyelaraskan antara ruang, manusia, dan arus. Jika jalan bisa berbicara, pasti ia menjerit, “Kapan aku bisa meregang lega tanpa deru mesin?”
Semoga suatu hari nanti, kemacetan di Kedungmundu, Ngaliyan, Sampangan, Tlogosari, dan ruas lain tak lagi menjadi rutinitas yang ditunggu-tunggu (dengan nada sarkastis) tetapi kenangan masa lalu yang bisa kita tertawakan bersama, sambil menyusuri jalan Semarang Outer Ring Road atau jalur lingkar yang dulu sempat akan dibangun di kota ini.
Dengan kata lain, mari kita menyadari hakekat hidup, bahwa “Urip Mung Mampir Macet” atau “macet itu sementara,” dan dari “sabar ya” menjadi “segera ada solusi nyata.”(HS)