SETIAP tahun, warga Semarang, khususnya di wilayah Semarang bagian bawah seperti sedang main petak umpet dengan air. Begitu hujan deras mengguyur, jalanan berubah jadi kolam renang dadakan, dan kendaraan melaju pelan seperti sedang latihan renang gaya bebas.
Baru-baru ini, pada Oktober 2025, hujan deras sejak tanggal 21 membuat genangan di banyak kawasan, termasuk Genuk dan Gayamsari, belum surut selama tiga hari. Pantura lumpuh, lalu lintas macet, dan warga sibuk angkat-angkat barang. Ini bukan cerita baru; banjir sudah jadi tamu tetap di kota ini, campur aduk antara air hujan dari pegunungan dan rob yang naik dari laut.
Masalahnya rumit sekali. Drainase di kawasan bawah kota sering mampet, sementara di wilayah atas, lahan resapan air hilang karena permukiman tumbuh cepat. Semarang sekarang kota besar, penduduknya jutaan, dan bangunan baru muncul di mana-mana.
Tambah lagi, tanah di sini turun terus, fenomena subsidence yang bikin permukaan laut terasa lebih tinggi. Rob datang seperti tamu tak diundang, genangi permukiman di Tanjung Mas dan sekitarnya, bikin ribuan keluarga mengungsi.
Pada Mei 2025, tanggul di sekitar pelabuhan jebol dan rob mengamuk, puluhan keluarga terdampak. Puncak hujan Januari-Februari 2026 bisa capai 400 milimeter per bulan, potensi banjir lebih parah. Kalau tak ditangani benar, kota ini bisa jadi Venesia versi tropis, tapi tanpa gondola romantis.
Lalu, bagaimana penanganannya? Pemerintah daerah sibuk kerahkan pompa air. Ada 25 mesin pompa berkapasitas 25 ribu liter per detik dioperasikan. Tambah lagi delapan pompa dari provinsi, total 27 unit.
Koordinasi dengan BNPB, bikin dapur umum, dan petugas turun lapangan. Kedengarannya hebat, tapi nyatanya, banjir tetap bertahan.
Pompa-pompa itu seperti pahlawan super yang datang telat, sibuk pompa air tapi genangan masih setinggi betis. Apalagi, proyek tol Semarang-Demak disebut memperlambat aliran air ke laut.
Pemerintah bilang bukan salah tol, tapi hujan yang kelewat deras. Ironis sekali, infrastruktur besar dibangun untuk maju, eh malah bikin air ngumpul lebih lama.
Sekarang, mari lihat sisi lucunya. Penanganan banjir sering terasa seperti acara hiburan. Rapat demi rapat digelar, pejabat saling lempar tanggung jawab, dan hasilnya? Foto-foto pejabat di media sosial tentang “upaya penanganan” yang heroik.
Wali kota dan pejabat lain turun ke lapangan, basah-basahan sedikit, lalu unggah cerita. Konten bagus, tapi solusi? Masih nunggu musim kemarau.
Dinas terkait seakan kerjakan proyek seperti rutinitas tahunan: bangun tanggul, normalisasi sungai, perbaiki talut, tapi kualitasnya kadang ala kadarnya. Seolah-olah proyek itu cuma buat laporan akhir tahun, biar atasan senang.
Di Semarang, daerah rawan banjir ada di hampir semua kecamatan, tak lagi hanya kecamatan di wilayah bawah. Kecamatan-kecamatan di wilayah Semarang atas, seperti Tembalang, Banyumanik, dan Ngaliyan, juga rentan banjir bandang akibat sistem drainase lingkungan yang buruk. Kalau cuma rapat dan konten, kapan banjirnya minggat?
Solusi Serius
Padahal, solusi butuh pendekatan serius. Libatkan akademisi dari universitas lokal, mereka paham data subsidence dan model prediksi. Parlemen bisa awasi dan siapkan anggaran, jangan sampai bocor seperti tanggul rusak. Intinya, politik anggaran yang memang fokus pada penanganan banjir.
Kajian sistematis wajib, analisis penyebab dari hulu ke hilir. Air hujan dari wilayah atas, campur rob dari laut, jadi penanganan harus ganda. Perbanyak embung di wilayah atas atau kolam retensi mungkin menjadi salah satu solusi menarik, daripada hanya membuat konten di media sosial.
Tapi jangan setengah-setengah; butuh kebijakan berisiko, seperti relokasi permukiman rawan atau larang bangun di lahan resapan. Risiko politik mungkin, tapi demi warga yang tiap tahun kebanjiran.
Transisi ke solusi ini harus mulus, mulai dari data akurat. Dashboard pantauan banjir Kota Semarang sudah ada, lengkap dengan CCTV. Gunakan itu untuk rencana jangka panjang. Ahli tata kota bilang, pompa saja tak cukup; butuh integrasi infrastruktur. Kalau terus begini, banjir jadi tradisi, lengkap dengan lagu-lagu rakyat tentang air yang tak mau pergi.
Maaf, jika tulisan ini terkesan menggurui, tapi warga sudah “neg” dengan masalah ini, sementara kebijakan pejabatnya seolah tak ada peran nyata.
Yang jelas, banjir Semarang bukan musuh yang bisa diusir dengan pompa doang atau rapat maraton. Butuh aksi nyata, kajian mendalam, dan keberanian ambil keputusan.
Kalau tidak, tahun depan kita lagi-lagi lihat foto pejabat basah kuyup, sambil warga bilang, “Lagi-lagi demi konten.” Lebih baik kita gerak duluan, sebelum Semarang jadi kota terapung permanen.(Tulisan ini disempurnakan AI-HS)


