PENYEBARAN wabah corona atau Novel Coronavirus 2019 (Covid-19) saat ini masih menjadi momok dunia. Hingga pekan lalu, tercatat setidaknya 64.849 orang di dunia telah meninggal dunia akibat virus yang menyerang saluran pernapasan tersebut. Hampir semua negara di dunia dipusingkan dengan penularan wabah yang berasal dari Wuhan, China itu. Termasuk Indonesia.
Tercatat hingga pekan ini, sebanyak 306 warga Indonesia meninggal dunia akibat wabah yang belum ditemukan vaksinnya tersebut.
Terkait penyebaran virus mematikan di dunia, mengingatkan sejarah serupa tentang penyebaran wabah di masa lampau. Salah satunya wabah kolera.
Tahun 1820 hingga akhir abad 19, wabah kolera juga pernah menggegerkan dunia. Konon, wabah yang muncul pada tahun 1820 ini berasal dari India, kemudian menyebar ke kampir ke seluruh negara Asia termasuk Indonesia. Ratusan ribu orang meninggal dunia akibat wabah ini.
Di Indonesia, puluhan ribu warga juga meninggal akibat wabah ini. Sementara itu di Kota Semarang, diperkirakan 1.225 orang meninggal dunia karena kolera.
Kemajuan teknologi tranportasi di abad ke-19 memang membawa dampak semakin cepatnya pergerakan manusia dan distribusi ekonomi. Bukan hanya manusia dan barang yang kian cepat bergerak, tapi juga kuman penyakit.
Sebagian besar pengetahuan tentang penyakit ini baru terkuak pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Di saat yang sama kolera telah mengglobal dan jadi epidemi di mana-mana.
Dari berbagai sumber sejarah yang diperoleh halosemarang.id, kolera mulai masuk ke wilayah Pulau Jawa pada tahun 1819, akibat hubungan dagang antara India dan Jawa melalui Malaka. Daerah yang pertama terindikasi penyakit kolera adalah daerah di sepanjang pantai utara Jawa, mulai dari Batavia, Semarang, hingga Surabaya. Di Batavia, Semarang, dan Surabaya penyakit ini mudah mewabah karena lingkungan kota yang kotor dan sanitasi yang buruk.
Padahal kondisi lingkungan yang buruk dan permukiman yang semakin padat adalah lahan subur bagi berkembangnya kuman penyakit kolera.
Penyakit Asing Kolera adalah sebutan orang Inggris untuk penyakit ini. Orang Belanda menyebut penyakit ini bort.
Sementara warga Indonesia mengenalnya sebagai penyakit muntaber (muntah dan berak). Sebagaimana sebutannya penyakit ini ditandai dengan serangan demam tinggi, kram perut, muntah, dan diare akut.
Konon penyakit kolera dapat membuat penderita menjadi kolaps dan gagal ginjal. Apabila tidak segera mendapat pertolongan, penderita penyakit kolera akan mengalami kematian dalam jangka waktu 12 jam setelah terkena penyakit tersebut.
Kala itu, di Indonesia tenaga medis kolonial belum tahu sebab yang sebenarnya dan bagaimana cara penularannya. Karena itu pemerintah kolonial yang memerintah di Indonesia kesulitan menentukan langkah pengobatan dan eradikasi yang tepat selama beberapa dasawarsa. Karena itulah tenaga medis kolonial saat itu menyebutnya “perang melawan musuh yang tidak terlihat”.
Sama seperti wabah corona saat ini, karena keterbatasan peralatan, rumah sakit zaman itu tidak bisa melakukan investigasi terhadap jenazah atau spesimen feses penderita kolera.
Pada waktu itu, kolera dianggap menular lewat udara, sehingga peraturan mewajibkan bahwa feses dan jasad kolera harus segera didisinfektasi dengan cairan sublimat dan dikubur di lubang dengan kalsium klorida.
Jika tenaga medis kolonial kesulitan mengambil langkah eradikasi yang tepat, warga biasa di kampung-kampung lebih kacau lagi. Sebagaimana disebut sejarawan Susan Blackburn, masing-masing komunitas punya cara-cara tersendiri menghadapi penyakit asing ini.
Warga muslim, misalnya, percaya penyakit ini bisa disembuhkan oleh “air suci” yang sudah ditiupi doa oleh kiai. Sebagian lainnya mengadakan ritual massal pengusiran pageblug. Sementara di kalangan orang China muncul kebiasaan memanggil barongsai untuk berkeliling Pecinan jika terdapat ancaman wabah kolera karena mereka percaya bahwa setan penyebar kolera takut pada barongsai.
Akhir Abad 19
Dari sumber yang dikumpulkan dari berbagai tulisan di media maupun blog pribadi, keterbatasan pengetahuan terkait muasal penyakit dan cara terbaik menanganinya membuat kolera makin sulit dibendung di era itu. Kuman kolera, Vibrio cholerae, baru berhasil diidentifikasi pada 1883. Bahkan, sampai setidaknya 1860-an, tenaga kesehatan masih berdebat apakah kolera itu penyakit menular atau bukan.
Kondisi itu membuat korban kolera selama masa epidemi membengkak. Sepanjang 1821 sekira 125.000 orang di Jawa meninggal dunia gara-gara kolera. Tak hanya berjangkit di permukiman pribumi dan China, kolera juga berjangkit di permukiman orang Eropa yang sebenarnya lebih baik kondisinya.
Banyaknya pasien kolera di Batavia bahkan sampai membuat tenaga medis yang jumlahnya tak seberapa saat itu kewalahan.
Kolera kemudian jadi wabah musiman karena lambannya penanganan. Penyakit ini dengan cepat melejit jadi urutan ketiga penyakit yang paling fatal setelah cacar dan tifus dalam kurun 1800-1880.
Dan lagi, epidemi 1820-1821 itu baru babak awal dari beberapa epidemi kolera yang mengguncang Hindia Belanda hingga paruh pertama abad ke-20. Wabah kolera yang besar terjadi lagi pada 1881-1882, 1889, 1892, 1897, 1901-1902, dan 1909-1911.
Dari serentetan epidemi itu yang paling parah adalah epidemi 1909-1911. Bermula dari Jambi, wabah lalu menyebar ke daerah lain di Sumatra, Jawa, dan Madura. Dalam tahun 1910 saja diperkirakan 60.000 jiwa meninggal dunia di Jawa dan Madura.
Langkah eradikasi kolera mengalami kemajuan saat bakteriolog Jerman berhasil mengidentifikasi kuman Vibrio cholerae. Bakteri berbentuk koma itu diketahui mempunyai flagel sehingga aktif bergerak. Bakteri tersebut biasa dijumpai pada tinja atau muntahan penderita kolera.
Bakteri seringnya mencemari air sumur dan kanal Batavia yang kotor atau terbawa oleh lalat. Maka segera ketahuan bahwa kebiasaan mandi, cuci, kakus di sungai yang terkontaminasi atau meminum air sumur yang tak dimasak
lebih dulu ikut andil bagi cepatnya penularan penyakit ini. Statistik juga menunjukkan bahwa wabah kolera umumnya meledak pada musim kemarau saat air bersih lebih sulit didapat.
Setelah pengetahuan terhadap penyakit ini cukup lengkap, pada akhir abad ke-19, usaha eradikasinya pun jadi lebih terarah. Dengan pemahaman yang lebih memadai, pemerintah kolonial Belanda akhirnya berhasil menekan laju penyebaran kolera pada dekade 1910-an.
Pemerintah kolonial lantas menggencarkan usaha penerangan tentang kesadaran hidup bersih di antara warga kota.
Regulasi higiene diperkuat dan langkah disinfeksi di daerah-daerah langganan kolera pun dilakukan. Rumah sakit sipil dan militer juga selalu menyiapkan bangsal khusus untuk merawat pasien kolera agar tidak menular ke pasien lain. Langkah taktis lain yang diambil pemerintah kolonial adalah meningkatkan kemampuan deteksi dini dengan membentuk Jawatan Intelijen Kolera pada 1909.
Kebijakan lain yang juga cukup signifikan hasilnya adalah vaksinasi massal. Eksperimen pertama pembuatan vaksin kolera dilakukan pada 1910.(HS)
*Tulisan dan data dikumpulkan dari berbagai sumber.