in

Staf Ahli OPD: Penjaga Gerbang Birokrasi Semarang yang Bikin APBD Makin Berat Tasnya

Foto ilustrasi AI.

PAGI di Semarang selalu dimulai dengan deru klakson di jalan raya tengah kota, di mana warga berjuang merebut ruang untuk lewat. Gambaran kemacetan itu, ada cerita serupa di balik meja-meja dinas: urusan izin usaha yang molor berminggu-minggu, laporan proyek penunjukan langsung yang numpuk seperti tumpukan sate ayam di pasar, dan masalah birokrasi lain yang ribetnya minta ampun.

Nah, Pemkot Semarang punya resep andalan untuk obati “sakit hati” birokrasi ini. Mereka rencanakan membentuk tim staf ahli di setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD), yang diambil dari eksternal (sipil, maupun swasta). Rencananya, sebelum akhir tahun tersebut akan dilantik, dengan jumlah sesuai OPD yang ada di Pemkot Semarang.

Tugasnya dampingi kinerja dinas supaya urusan lebih pas sasaran, lekas selesai, dan jelas serta transparan seperti akuarium di loby DPRD Kota Semarang.

Ide ini muncul (kalau tidak salah) dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Tahun 2025, yang diteken lewat Peraturan Wali Kota.

Dokumen itu bilang, staf ahli ini bakal jadi pendamping setia, bantu kepala dinas hindari salah langkah, percepat proses, dan buka buku catatan keuangan lebar-lebar buat mata publik.

Sungguh, rencana ini terdengar seperti dongeng rakyat versi modern: ada pahlawan tanpa jubah yang datang menyelamatkan desa dari banjir kertas kerja.

Bayarannya? Langsung dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Semarang tahun anggaran 2025, khususnya di perubahan anggaran, yang totalnya tentu sangat banyak. Jika satu staf ahli OPD digaji Rp 5 juta sampai Rp 6 juta perbulan, tinggal dikali berapa OPD yang ada di Kota Semarang.

Uang segitu cukup buat bikin jembatan baru atau tambah halte bus Trans Semarang, tapi kini dialokasikan untuk gaji staf ahli yang katanya disesuaikan dengan keahlian mereka.

Kompetensi jadi kunci utama, plus standar pendidikan minimal S1 sesuai bidang dinas masing-masing. Di Dinas Lingkungan Hidup, misalnya, butuh sarjana teknik lingkungan yang paham urusan sampah tak terkendali. Di Dinas Perdagangan, ahli ekonomi yang bisa hitung untung rugi pasar tradisional tanpa bikin pedagang pusing. Jangan malah diisi sarjana hukum atau bidang lain yang tidak sesuai.

Tapi, mari kita kupas lebih dalam, seperti mengupas bawang merah di dapur: lapis demi lapis, air mata bisa ikut netes.

Pertama, soal pembiayaan dari APBD. Uang rakyat ini sudah seperti dompet tipis setelah belanja bulanan, masih harus bayar gaji pegawai, bangun infrastruktur, dan tangani banjir musiman yang selalu datang tanpa undangan.

Tambah staf ahli OPD berarti tambah beban, meski katanya hanya kontrak sementara. Hiperbola sedikit, bayar gaji satu staf ahli setahun bisa setara biaya operasional posyandu di lima kelurahan. Tapi hasilnya? Mungkin cuma laporan tambahan yang numpuk di rak arsip.

Ironinya, APBD yang sudah direfocusing berkali-kali gara-gara pandemi, bencana, dan dampak gejolak ekonomi nasional, kini dipakai untuk “dampingi” dinas yang seharusnya sudah mandiri setelah puluhan tahun berdiri. Apalagi pejabatnya sudah pinter-pinter, dipilih dari proses panjang birokrasi dan uji kompetensi.

Lalu, urusan kompetensi dan pendidikan. Pemkot janji sesuaikan dengan bidang, tapi realitanya seperti milih juru masak di warung pecel: kelihatannya pas, tapi rasanya bisa meleset.

Standar S1 memang bagus, tapi kalau ada sarjana pertanian yang dampingi dinas teknis, lalu usul solusi kemacetan dengan tanam padi di median jalan, tentu akan jadi humor klasik dengan metode baru. Kasus rotasi jabatan di Pemkot saja sudah bikin heboh, banyak jabatan yang konon diisi pejabat bukan dengan kualifikasinya. Bahkan ada rumor, pejabat kurang sebulan mau pensiun malah dipromosikan.

Transisi ke sisi percepatan kinerja: katanya, staf ahli ini bakal bikin proses lebih gesit, seperti burung gereja lompat cabang ke genting.

Dalam RKPD, disebutkan mereka akan bantu evaluasi proyek secara rutin, hindari pemborosan, dan pastikan data terbuka untuk warga. Bagus, tentu. Tapi ironi besar muncul saat kita lihat track record birokrasi Semarang.

Niat Baik

Staf ahli ini bisa jadi seperti tambahan rem di mobil butut, seharusnya bikin aman, tapi malah bikin berhenti total di tengah jalan.

Belum lagi soal rekrutmen. Pemkot bilang prosesnya ketat, tes kompetensi, wawancara, semuanya. Tapi di kota yang politiknya kadang lebih panas dari soto pedas, siapa jamin nggak ada jatah kuota dari “teman dekat atau kerabat”?

Ironinya, staf ahli yang seharusnya netral malah jadi perpanjangan tangan, bantu dinas “selamat” dari audit BPK yang galak. Contoh nyata, pendampingan ahli medis di dinas kesehatan beberapa daerah tahun silam, justru bikin program vaksinasi tambah ribet, gara-gara beda pendapat soal prioritas kelompok. Hasilnya, warga antre lebih lama, dan APBD bocor untuk tambahan sosialisasi.

Sekarang, mari kita geser pandangan ke warga biasa, yang jadi penutup cerita ini. Mereka yang bayar pajak lewat belanja di minimarket atau bayar retribusi parkir tepi jalan umum, rencana staf ahli ini seperti hadiah ulang tahun yang dibungkus rapi: kelihatannya manis, tapi isinya cuma kertas janji.

Kalau benar-benar jalan, mungkin birokrasi Semarang bisa setajam silet, urusan selesai secepat kilat, dan uang APBD tak lagi hilang seperti asap knalpot.

Tapi kalau cuma tambah kursi kosong di kantor, ya sudah, warga tetap macet di jalan, PDAM tak ngalir, kebanjiran, dan dompet tetap kering.

Pemkot Semarang punya niat baik, seperti tetangga yang pinjam Rp 100 ribu, janji balikin besok. Lucunya, besok itu bisa jadi bulan depan atau tahun depan.

Ingat, uang rakyat itu untuk bikin kota lebih enak ditinggali, bukan untuk bikin daftar gaji tambahan.

Harapan warga itu sederhana, Semarang bisa jadi kota impian, tanpa macet, tanpa molor, dan tanpa ironi yang bikin kita geleng-geleng kepala sambil nyanyi “Semarang Birokrasinya…Ah sudahlah…”(Tulisan ini disempurnakan oleh AI-HS)

Taj Yasin Optimistis Kafilah STQH Mampu Harumkan Jawa Tengah

Bangun Pabrik di Jalan Lingkar Kaliwungu, Garmen Produksi Jaket Digadang Serap Tenaga Lokal Kendal