SUATU malam di salah satu jalan di wilayah pinggiran Kota Semarang, tiba-tiba dari balik gang muncul segerombolan pemuda bejaket warna gelap dengan tangan berbalut kardus dan sandal jepit, membawa senjata tajam jenis celurit dan parang.
“Yuk, tempuk!” teriak salah satu pemuda sambil mengacungkan senjata tajam yang lebih mirip alat petik mangga, panjang. Dan tawuran dimulai. Ada juga yang membawa gergaji es, entah untuk apa.
Bukan karena rebutan cewek atau wilayah, tapi karena… entahlah, mungkin karena mi instan tadi siang keasinan.
Pada 2024 saja, Polrestabes Semarang mencatat 83 kasus tawuran antar-gangster sejak Januari hingga September. Lima insiden remaja bersenjata tajam dalam sebulan terakhir, dengan dua nyawa melayang seperti layang-layang putus tali.
Ironisnya, sementara orang dewasa sibuk debat soal lalu lintas macet di Kaligawe, Kedungmundu, dan Ngaliyan, atau membahas tentang akun Instagram Dinas Kegelapan yang rutin mengunggah tema politik, anak muda kita memilih “dialog” ala gladiator Romawi.
Tapi hei, jangan salah paham, ini bukan kritik, ini pujian terselubung. Karena di balik kekacauan itu, ada pesan mendalam: anak muda Semarang sedang latihan jadi pemimpin masa depan. Pemimpin yang pandai multitasking: sambil pukul, kabur dari kejaran polisi.
Ah, Semarang, kota yang dikenal karena kulinernya, tapi juga juara dalam “kreativitas” remaja.
Sayangnya, realitasnya lebih mirip sinetron: tawuran ini bukan lahir dari kekosongan, tapi dari ledakan tekanan yang sama yang kita rasakan semua. Anak usia pelajar yang besok lulus harus hadapi dunia kerja, di mana rata-rata orang Indonesia mengabiskan 41 jam seminggu di tempat kerja. Setara dengan maraton nonstop tanpa istirahat.
Dulu, orang purba tawuran pakai batu untuk bertahan hidup. Sekarang, anak muda Kota Semarang pakai batu bata untuk… penulis kurang tahu jawabannya.
Ironinya, tawuran ini justru latihan survival: belajar timwork (serang bareng!), negosiasi (pura-pura damai lalu serang lagi), dan leadership (siapa yang bawa parang paling panjang atau yang kebal senjata tajam, dia bos).
Tapi serius, di balik tawa, ada pil pahit. Sebanyak 143 anak di Jawa Tengah berhadapan hukum karena kejahatan dan premanisme sepanjang 2024. Bukan angka, tapi cerita: remaja yang seharusnya kreatif bikin aplikasi atau band indie, malah bikin memar, disebut “kreak” pula. Apa itu kreak? Sebagai informasi, kreak merupakan gabungan antara dua kata ‘kere’ dan ‘mayak’ (artinya miskin dan belagu). Duh.
Mungkin solusinya bukan razia polisi doang, tapi “Tawuran Kreatif Workshop”: membuat jubah anti-senjata tajam untuk menangkal kejahatan, atau ubah senjata tajam jadi kreasi seni bernilai jual tinggi.
Dan pada akhirnya ingatlah: tawuran ini bukan akhir, tapi awal. Karena di Semarang, bahkan kekacauan pun punya rasa manis seperti gula jawa. Wes awuren…(HS)