in

RT-RW di Semarang: Kantor Cabang Negara di Ujung Gang Sempit

Foto ilustrasi AI.

DI sebuah kampung di pinggiran Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, pagi itu Pak RT, seorang pensiunan wartawan yang kini jadi juru catat warga, sedang bergulat dengan tumpukan kertas di meja kayu reyotnya. Bukan kertas biasa, tapi formulir permohonan dan laporan bantuan keuangan RT yang sudah basah kuyup karena hujan semalam.

“Ini lagi, formulir untuk Bu RT, guna pengajuan anggaran PKK ada revisi dari kelurahan,” kata Mas Dar, sekretaris RT yang sudah tiga kali bolak-balik ke kantor kelurahan.

Pak RT menghela napas panjang, sambil menyodorkan secangkir teh hangat sebagai penghangat semangat yang masih ngantuk setelah rapat RW semalam.

“Sabar nggeh Mas. Harus print ulang, tanda tangan, cap, lalu kirim lagi ke kelurahan. Semoga Bu Lurah masih di kantor,” kata Pak RT.

Begitulah hari biasa di RT 09 RW II, di mana urusan sederhana seperti pengisian formulir bantuan RT bisa berubah jadi perang dingin melawan printer mati dan sinyal WiFi yang suka kabur. Belum lagi warga mendesak agar bantuan segera dicairkan untuk beli lampu jalan yang sudah mati.

Pemerintah Kota Semarang memang menganggarkan setiap RT dapat suntikan dana Rp 25 juta per tahun. Sementara RW dapat bantuan Rp 3 juta/tahun, sebagaimana tertulis dalam Panduan Bantuan Operasional RT/RW Kota Semarang Tahun 2025. Dana ini bertujuan untuk mendukung kegiatan administrasi dan fasilitasi pertemuan rutin RW, sejalan dengan upaya Pemerintah Kota mewujudkan tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel.

Kabar terbarunya lagi, PKK tingkat RT juga memperoleh Rp 3 juta/tahun, namun baru disosialisasikan Oktober 2025.

Tujuannya memang mulia, bantu RT jadi garda depan pelayanan warga, dari got mampet sampai arisan bulanan. Tapi kalau dilihat dari dekat, seperti melihat lukisan absurd art yang ternyata coretan anak TK, indah di kertas, berantakan di tanah liat.

Realita lapangan, di mana RT bukan lagi sekadar ketua lingkungan, tapi miniatur lengkapnya birokrasi nasional. “Saya ini kayak pegawai negeri dadakan,” keluh Pak RT suatu sore, sambil menyusun laporan bulanan yang tebalnya setengah jengkal.

Laporan itu? Tentang jumlah warga yang ikut senam pagi lengkap dengan tanda tangan kehadiran, kwitansi dan laporan foto kegiatan, atau berapa kali got dibersihkan. Hasilnya? Sekedar stempel “sudah diterima” dari kelurahan, tanpa tambahan apa-apa selain sakit punggung.

Ironinya, dana Rp 25 juta itu datang seperti tamu tak diundang di pesta arisan: bikin heboh sebentar, lalu hilang ditelan urusan sehari-hari, meninggalkan banyak piring kotor yang harus segera dibersihkan sesuai deadline bukan dateline. Di Semarang, ada sekitar 2.500 RT yang kebagian jatah ini, total anggaran mencapai miliaran rupiah.

Katanya untuk beli alat tulis, konsumsi rapat warga, atau beli kebutuhan warga dengan maksimal pembelian Rp 300 ribu (untuk barang sekali pakai). Tapi coba tanya Pak RT: “Dana itu lebih banyak dipakai buat fotokopi surat dan pengadaan kertas. Tidak bisa dipergunakan untuk beli obat sakit kepala lho..”

Lihat saja bagaimana RT jadi pusat administrasi dadakan. Warga datang pagi-pagi, bawa map berisi dokumen usang, minta tolong urus KTP hilang atau akta nikah telat.

Kini tugas tersebut masih ditambah agenda rapat rutin RT, Rapat RW, Rapat PKK, Kerja Bakti Mingguan, Senam Mingguan, Koordinasi di Kelurahan, Pencairan Anggaran, Pengajuan Anggaran, Pelaporan Anggaran, dan lain-lain yang membuat waktu untuk sekedar cerita nabi-nabi dengan anak tak ada.

Pak RT, yang semula cuma hobi rawat ayam saat sore dan pagi hari sebelum beraktivitas harian, kini harus hafal prosedur laporan di Aplikasi Ruang Warga, lengkap dengan PIN yang sering lupa.

“Saya ini bukan ketua RT, tapi direktur urusan tetek bengek,” candanya, sambil menyeka keringat di tengah panas Semarang yang seperti oven raksasa.

Transisi Digital

Pemerintah memang sudah punya aplikasi canggih untuk lapor warga, tapi di lapangan? Sinyal 4G di gang sempit sering putus asa, apalagi 5G yang masih mimpi. Internet gratis dari pemerintah juga sering erornya. Belum lagi, banyak RT yang masih gaptek karena untuk jadi RT tak ada pelatihan khusus administrasi penggunaan dana APBD atau retret.

Di balik tumpukan formulir, juga ada cerita Pak RT yang pagi jadi juru tulis, siang jualan ayam geprek, malam koordinasi dengan warga sekaligus ke rumah Pak RW untuk minta tanda tangan. Belum lagi di sela jualan geprek harus antre ke bank untuk pencairan dana RT.

“Dana ini bagus, tapi kalau nggak ada petunjuk jelas, ya cuma tambah beban. Mondar mandir konsultasi karena gak tau prosedurnya. Takut salah, nanti diperiksa Inspektorat. Padahal bukan pegawai negeri,” katanya suatu hari, sambil bagi-bagi gorengan ke warga yang ngajak ngopi.

Ada juga keluhan Bu RT, yang harus rapat tiap minggu dengan Bu RW untuk bahas rencana anggaran, menyusun anggaran dari beli jajanan rapat sampai urusan senam. Malamnya, harus koordinasi dan menjelaskan dengan warga.

Padahal siangnya, di kantor sudah pusing dikejar target penjualan oleh perusahaan. Duh..

Birokrasi mikro ini bikin RT seperti negara kecil di ujung gang: punya menteri (sekretaris RT), parlemen (rapat warga), dan anggaran (Rp 25 juta yang lebih mirip janji manis daripada uang tunai).

Pengawasannya? Sudah gandeng Kejaksaan dan aparat penegak hukum (APH) lain untuk cegah salah urus, tapi di tingkat RT, pengawas utama justru mata tetangga yang suka gosip.

“Pantes, RTnya beli TV baru, pasti dari bantuan Rp 25 juta,” kesimpulan penutup rasan-rasan warga.

Kalau dibiarkan, beban ini bisa bikin RT ambruk seperti got pas musim hujan. Warga capek bolak-balik, ketua RT pusing kumpulkan bukti administrasi untuk laporan, dan dana yang dikejar harapan warga.

Pak RT mulai pakai WhatsApp grup untuk lapor sederhana, meski sering banjir stiker kucing dan emot jempol saja.

Pada akhirnya, RT ini seperti kopi tubruk: hitam pekat, penuh ampas, tapi tetap enak diminum pelan-pelan.

Kalau pemerintah mau bantu beneran, ayo potong anggaran TPP pegawai, potong dana operasional Wali Kota dan Wakilnya, dan potong anggaran fasilitas dan tunjangan DPR. Untuk selanjutnya anggarkan penambahan honor RT-RW, lebih tepat lagi samakan dengan gaji pegawai atau gaji DPRD. Karena beban mereka, melebihi pegawai eselon 3 dan 4, serta anggota DPRD sendiri. Tak percaya? sesekali tukar nasib deh.

Siapa tahu, dari situ lahir solusi asli: birokrasi mikro yang nggak bikin orang ngantuk, tapi malah bikin ketawa. Karena di negeri ini, yang selamat bukan yang sempurna, tapi yang bisa bercanda di tengah banjir formulir tanpa ada reward jelas.(Tulisan ini disempurnakan oleh AI-HS)

Silaturahmi di Masjid Mujahidin Kendal, Ini Harapan Anies Baswedan

Dua WNA Dapat Layanan Jemput Bola dari Imigrasi Semarang