in

Politik Nasi Goreng

Foto ilustrasi nasi goreng.

Penulis: Agung Hima

Visibility does not give you only popularity, but also power and money! (Philip Kotler)

SIAPA PUN yang paham marketing tak akan membantah pernyataan Philip Kotler di atas, sebab menjadi terlihat (visible) adalah embrio untuk menuju popularitas. Asal mengelola visibility dengan baik, maka orang semakin mengenalnya. Semakin itu pula akan mendapat kepercayaan, dengan mendapat kepercayaan, sangat mungkin hal-hal besar juga akan diterimanya.

Sebagai kerangka self branding sepertinya langkah dan pemikiran yang brilian dan cerdas multak dilakukan. Tak disangkal bahwa banyak politisi, artis dan seleb lainnya tak segan menyewa konsultan khusus untuk mempromosikan dirinya.

Maka membuat event lomba nasi goreng, seperti merayakan kompetisi biasa untuk kegembiraaan menyambut hari kemerdekaan, diniscayakan menjadi lain ketika variabel di luar nasi goreng turut serta merayakannya.

Nasi goreng yang biasanya cuma dengan resep cabai, bawang putih, bawang merah, garam, telor, sawi kol, tomat, kecap dan bumbu lainnya, terasa berbeda ketika soal stunting, urban farming dan cerita repotnya ibu-ibu PKK hingga cerita mutasi atau pindah tugas menjadi punch line dalam merayakannya.

Gaduh serta heboh menjadi salah satu tujuan untuk mencapai viralitas, dalam konteks isu politik beserta gimicknya. Hal ini akan tertulis rapi di berbagai media online hingga pada kelompok diskusi kecil (WA grup), kapan berhentinya tidak ada yang tahu.

Paling kita cuma ketawa saja ketika beberapa pedagang mengeluh tidak laku (saya juga begitu), ibu-ibu PKK yang ribet dengan yel-yel harus upload di media sosialnya, kebutuhan seragam, urband farming dadakan, dan celoteh pro-kontra di media sosial menjadi penghiburan.

Sebagai konsultan politik, tentu saja mempertajam pro dan kontra diperluas dengan “rivalitas” yang aman hingga viralitas semakin meningkat.  Jika lebih radikal tentu saja nasi goreng bisa disasar dengan persoalan anggaran pembangunan jalan raya, swakelola yang tak beres, gorong-gorong, pembangunan gedung, atau apapun itu.

Toh, Donald Trump pernah berstrategi membakar halaman rumah sendiri dan tidak pernah alergi dengan media dan berhasil mendorong persepsi masyarakat bahwa dialah yang terbaik.

Barangkali jika semakin diperluas, merayakan nasi goreng bisa saja dijadikan isu yang lebih gila-gilaan dengan memberi value tinggi dalam kemampuan untuk mengkomunikasikan konsep teknis yang canggih dan futuristik, berbasis pertarungan geopolitik yang menarik antara kekuatan militer di dunia.

Semisal pertarungan nasi goreng Mandarin, Jawa atau ala Amerika? Melakukan perencanaan matang dan serius hingga sampai hal terkecil dilakukan dengan akselerasi intelektual yang mumpuni, bukan tidak mungkin hal ini terjadi.

Being visibility (menjadi terlihat) mau tak mau membicarakan soal subjektifitas dan identitas sebagai produk khas budaya yang bersifat tak pasti (contingent), maka mutlak diperlukan identitas yang menciptakan kemampuan untuk mempertahankan narasi perihal diri sendiri.

Nasi goreng adalah salah satu pilihan narasi untuk memunculkan diri sendiri akibat popularitas yang mungkin tertutup oleh subjek lain yang lebih dulu berkuasa, dan mungkin juga sebuah upaya untuk menutupi persoalan lainnya.

Sebagai bakulan angkringan, usaha pemasaran tentu harus dipikirkan secara strategis dan dilakukan dengan sederhana mirip Kenichi Ohmae. Visible dan invisible adalah moment yang harus diketahui pasti, sebagaimana Sun tzu, kekuatan dan kelemahan adalah relatif musuh kita. Dan nasi goreng bisa jadi adalah sebuah kekuatan untuk menutupi kelemahan yang sedang terjadi, begitu juga sebaliknya. Jadi rayakanlah nasi goreng dengan biasa saja.

Terakhir dari catatan ini penulis ingin mengingatkan, di era post truth yang mana kebenaran bisa malih rupa menjelma apa saja, apalagi kegencaran media sosial yang nyaris tanpa filter dan sanggup memanipulasi berita, peristiwa apapun untuk diarahkan pada kepentingan visibility-nya.

Maka peristiwa pro-kontra dan efek samping pergantian jabatan dan gimmick-gimmicknya tak perlu ditanggapi berlebih. Biasa saja. Wajar-wajar saja. Sebab jika terkecoh bukan tak mungkin hal-hal substansial yang lebih pada isu kerakyatan malah tak terdeteksi dengan jernih.

Dan percayalah, kita semakin mengarah pada ketidaktahuan yang naif. (Penulis merupakan pengajar seni teater dan aktif berkesenian di Taman Raden Saleh Semarang-HS)

Mewakili Masyarakat Kota Semarang, Mbak Ita Terima Penghargaan Dharma Karya Kencana dari BKKBN

Radio USM Jaya FM Gelar Talkshow Kudengar Bahas OCSEA dan KBGO