PASAR Imlek Semawis (PIS) resmi dibuka Jumat (1/2/2019) dan bakal digelar sampai tanggal 3 Februari 2019. Kegiatan ini merupakan salah satu cara bagi warga Tionghoa di Kota Semarang dalam merayakan Tahun Baru Imlek ke 2570 di Kawasan Pecinan. Tak hanya masyarakat Tionghoa, dalam pagelaran Pasar Imlek Semawis berbagai etnis pun turut meramaikan pasar dadakan yang digelar sepanjang Jalan Wotgandul Timur dan dipenuhi oleh sajian kuliner khas Tiongkok.
Sebagai informasi, Tahun Baru Imlek merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa. Perayaan tahun baru imlek dimulai pada hari pertama bulan pertama di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh pada tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama).
Di Tiongkok, adat dan tradisi wilayah yang berkaitan dengan perayaan Tahun Baru Imlek sangat beragam. Namun, kesemuanya banyak berbagi tema umum seperti perjamuan makan malam pada malam tahun baru, serta penyulutan kembang api.
Lalu bagaimana pandangan generasi muda Tionghoa yang kini tinggal dan telah menetap di Semarang terhadap tradisi Pasar Imlek? Sunatha Liman Said, generasi pengusaha muda Tionghoa yang besar di Kota Semarang mengatakan, perayaan imlek di Kota Semarang bisa menjadi simbol kerukunan antarumat beragama di kota ini.
“Perayaan imlek kali ini saya melihat berbagai macam etnis kumpul dan itu menunjukkan bahwa kerukunan antarumat sangat terjalin bagus di Kota Semarang. Kerukunan antarumat ini merupakan ciri khas warga Kota Semarang. Sejak puluhan tahun silam, masyarakat dengan multikultur bisa hidup berdampingan di sini,” kata Sunatha.
Dia berharap, pagelaran Pasar Imlek Semawis yang digelar di Kota Semarang bisa menjadi contoh bagi kehidupan bermasyarakat. Apalagi masyarakat di luar etnis Tionghoa juga ikut berbaur meramaikan yang digelar tiap tahun baru Tiongkok tersebut.
“Pasar Imlek ini bisa menambah keaneka ragaman budaya. Serta Kota Semarang diharapkan menjadi contoh kehidupan harmonis di tengah perbedaan penduduknya,” tukas Sunatha.
Dalam acara Pasar Imlek Semawis, panitia juga menggelar Tok Panjang, atau jamuan yang diberikan warga Pecinan kepada masyarakat di luar Pecinan. Berbagai kuliner unik nampak menjadi jamuan istimewa di Tok Panjang ini.
Ketua Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis), Harjanto Halim mengatakan, makna dari Tok Panjang adalah jamuan yang merekatkan kembali kekeluargaan.
“Makan malam reuni sebenarnya. Karena suasanya makan dan bisa guyonan, harapannya Tok Panjang ini jadi media untuk merekatkan hubungan keluarga. Makna luasnya artinya ini sesama warga, tetangga, bisa serawungan. Kalau istilah lainnya silaturohmi lah,” ujarnya.
Harjanto menambahkan, dalam Tok Panjang berbagai kudapan kuliner disajikan, seperti teh serbat yang dicampur berbagai rempah-rempah, udang brokoli, sup lobak, dan nasi ulam bunga telang.
“Pasar Imlek Semawis berarti menghidupkan kembali ji kao meh tradisi khas Semawis Semarang. Di Pecinan semua warga dari segala etnis, agama, suku dan golongan bebas berinteraksi tanpa batas,” imbuhnya.
Jangan Lupa Jatidiri
Sementara ditemui terpisah, Dewi Susilo Budiharjo, Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Jateng mengatakan, sejak dibukanya kesempatan bagi masyarakat Tionghoa untuk merayakan perayaan-perayaan budaya/tradisi Tionghoa oleh almarhum Gus Dur, maka Tahun Baru Imlek bisa dinikmati dengan penuh kegembiraan. Termasuk oleh generasi milenial Tionghoa. Tetapi menurutnya ada dampak dari “pembekuan” perayaan itu selama 32 tahun sebelumnya.
“Hingga pada kenyataannya terjadi pada generasi Tionghoa milenial, perayaan Imlek hanyalah jadi sebuah perayaan. Saya sebagai Ketua Paguyuban Tionghoa selalu menyarankan, bahwa kita boleh terlahir Tionghoa, kita tidak dapat memilih soal kelahiran.
Tetapi kita sangat Indonesia. Meski kami tidak bisa mengingkari dan melupakan tradisi leluhur kami,” katanya.
Dewi Susilo memberikan masukan kepada generasi milenial sekarang, untuk tahu dan paham akan tradisi dirinya.
“Dengan mengetahui tradisi dan budaya maka generasi milenial Tionghoa diharapkan bisa menemukan sejatinya dirinya. Dan akan menghargai serta mensyukuri tanah di mana dia dilahirkan. Kita bisa bersaudara dengan banyak budaya apapun. Karena kita paham jati diri kita sesungguhnya,” tegasnya. (HS)