DALAM debat perdana Pemilihan Wali Kota Semarang 2024 yang dilaksanakan oleh KPU pada Jumat (1/11/2024) lalu, isu mengenai energi baru dan terbarukan serta emisi yang dihasilkan oleh Bus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang menjadi sorotan. Debat ini tidak hanya menjadi ajang bagi calon wali kota untuk mempresentasikan visi mereka, tetapi juga membuka diskusi tentang permasalahan lingkungan yang dihadapi Kota Semarang.
Istilah ‘cumi-cumi darat’ muncul dalam pembahasan ketika calon Wali Kota Semarang nomor urut 02, AS Sukawijaya alias Yoyok Sukawi, mengungkapkan pentingnya menurunkan emisi karbon dari transportasi publik. Menurutnya, untuk mengurangi emisi dari ‘cumi-cumi darat’, perlu dilakukan peremajaan bus dengan mengganti mesin diesel menjadi elektrik.
“Kami berdua punya program Semarang Ijo Royo-royo. Salah satunya peremajaan Trans Semarang jadi elektrik. Jadi akan kita ubah jadi elektrik agar polusi hilang, dengan itu akan turun emisi,” ungkapnya.
Sementara itu, Agustina Wilujeng, calon wali kota lainnya, menanggapi bahwa fenomena ‘cumi-cumi darat’ disebabkan oleh ketidakseimbangan antara jumlah bus dan kebutuhan penumpang.
“Cumi-cumi darat terjadi karena jumlah bus tidak seimbang dengan kebutuhan penumpang. Kami sudah temui pengemudi dan pengelola BRT, jumlah bus terlalu sedikit. Maka akan tambah jumlah layanan dan perjalanan, tidak ngos-ngosan,” katanya.
Untuk diketahui, istilah ‘cumi-cumi darat’ di Kota Semarang merujuk kepada BRT Trans Semarang yang menggunakan mesin diesel dan sering mengeluarkan asap hitam pekat saat beroperasi di jalan raya. BRT Trans Semarang telah beroperasi sejak tahun 2010 dan dioperasikan oleh pihak ketiga. Asap pekat yang dihasilkan disebabkan oleh proses pembakaran yang tidak sempurna akibat peningkatan jumlah bahan bakar yang masuk ke silinder mesin.
Menariknya, pada tahun 2019, Pemerintah Kota Semarang yang saat itu di bawah kepemimpinan Hendrar Prihadi sempat meluncurkan kesepakatan kerja sama untuk konversi bahan bakar solar ke gas untuk BRT Trans Semarang. Dengan skema pembiayaan Rp 10 miliar yang berasal dari bantuan Toyama dan APBD Kota Semarang, proyek ini diharapkan dapat mengatasi masalah kemacetan dan polusi.
Namun, setelah peluncuran, masalah emisi hitam dari BRT Trans Semarang masih terus berlanjut. Meskipun Pemkot Semarang memberikan subsidi operasional mencapai Rp 250 miliar per tahun untuk BRT hingga saat ini, kenyataan bahwa armada masih menggunakan bahan bakar solar membuat upaya pengurangan polusi ini menjadi tantangan tersendiri bagi calon wali kota yang akan terpilih.
Wakil Ketua DPRD Kota Semarang, Harsono menegaskan, dengan anggaran subsidi yang sangat besar, hampir 4% dari total APBD Kota Semarang yang mencapai Rp 5,46 triliun, diharapkan kualitas pelayanan BRT Trans Semarang bisa lebih baik. Bahkan tahun 2024 anggaran operasional untuk BRT Trans Semarang lebih dari Rp 260 Miliar.
“Termasuk perlu adanya solusi akan persoalan polusi dari layanan transportasi umum tersebut. Program peremajaan armada bus yang sudah tua dan menggantinya dengan bus listrik adalah langkah yang tepat untuk memperbaiki kualitas udara kota,” tandasnya.(HS)