HUJAN deras pertama musim ini menyapa Semarang seperti mantan yang datang tanpa permisi, lengkap dengan bagasi banjir yang bikin rumah-rumah jadi kolam renang dadakan.
Akhir Oktober lalu, langit Semarang tiba-tiba murung, curah hujan meledak, dan tak lama kemudian, air mulai naik pelan-pelan di pinggir Jalan Kaligawe.
Bukan sekadar genangan kecil yang bisa dilewati dengan sepatu karet, tapi banjir sungguhan yang merendam kecamatan-kecamatan seperti Gayamsari, Genuk, dan Pedurungan. Hampir dua pekan lamanya, warga khususnya di Kecamatan Genuk harus beradaptasi dengan ritme baru: sarapan sambil mendayung, sekolah online karena jalan raya jadi sungai, dan tidur sambil dengerin suara katak berkonser malam-malam.
Data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah mencatat, banjir ini menyentuh 63.450 jiwa, dengan tiga korban jiwa dan satu orang hilang, sementara 134 warga mengungsi di posko darurat. Bukan cuma angka, tapi cerita sehari-hari yang berubah total.
Mulai dari Selasa, 28 Oktober 2025, hujan deras mengguyur Semarang selama berjam-jam, memenuhi saluran drainase yang sudah penuh sampah dan lumpur tahun-tahun sebelumnya.
Di Kaligawe dan beberapa wilayah di Kecamatan Genuk, air naik hingga pinggang orang dewasa, membuat Jalan Kaligawe Raya jadi spot selfie baru. Warga yang biasa bangun pagi untuk jualan, harus naik perahu karet bantuan pemerintah.
Pedurungan dan Gayamsari tak kalah parah; anak-anak sekolah dasar belajar berenang tanpa pelampung. Total ada beberapa kecamatan terdampak, termasuk Semarang Utara dan Timur, dengan 22.653 kepala keluarga yang rumahnya basah kuyup.
Pemerintah kota buru-buru gerak, Wali Kota Semarang kerahkan tim pompa air dan bangun dapur umum di titik-titik rawan. Relawan datang berdatangan, bawa mi instan dan obat diare, sementara tenaga kesehatan tambahan dikerahkan untuk cegah wabah di tengah lumpur yang licin.
Tapi, banjir ini bandel. Sepekan berlalu, air masih betah, seperti tamu pesta yang tak mau pulang meski jam sudah lewat tengah malam.
Lalu, seperti adegan klimaks di film aksi lokal, plotnya berbelok. Jumat, 31 Oktober, genangan mulai menyusut tipis-tipis berkat pompa air masif dan rekayasa cuaca yang digeber Gubernur Jateng, Ahmad Luthfi.
Tapi puncaknya Minggu, 2 November, tepat saat Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka mendarat di Semarang untuk menghadiri pelantikan Pengurus Gerakan Pemuda (GP) Ansor Jawa Tengah di kompleks Pondok Pesantren Asshodiqiyah, Kelurahan Kaligawe, Kecamatan Gayamsari.
Dirinya juga langsung menuju Kolam Retensi Terboyo di Genuk, proyek ambisius yang dirancang khusus untuk telan air banjir seperti paus telan plankton. Saat kunjungan Wakil Presiden itu, semua pompa di hulu Kali Tenggang dan Kali Banger tiba-tiba hidup. Padahal sebelumnya, dari total jumlah pompa yang ada, paling hanya dua yang hidup di tiap rumah pompa.
Dan banjir yang selama ini ogah pergi, tiba-tiba surut deras.
Air di Gayamsari, Genuk, dan Pedurungan mengalir mundur seolah takut kena omel dari Wakil Presiden. Warga yang semalam masih mendayung, pagi harinya sudah bisa jalan kaki lagi.
Banjir ini seperti pesta air yang undangannya tak pernah ditolak, karena setiap musim hujan, Semarang selalu siap jadi tuan rumah. Tapi, saat Gibran datang, air seolah bilang, “Sudah, deh, cukup drama. Bos lagi inspeksi, kita mundur dulu.”
Gibran sendiri, dalam kunjungannya, tak lupa sebut soal kolaborasi lintas level, pemerintah pusat, provinsi, kota, untuk bikin Semarang anti-banjir permanen.
Tapi, di balik pujian itu, ada nada sindiran halus: kenapa harus nunggu hujan deras baru gerak? Atau kenapa banjir baru surut saat Gibran datang?
Mungkin, kalau Semarang mau bebas genangan selamanya, undang Gibran lebih sering, minimal seminggu sekali.(Tulisan ini disempurnakan oleh AI-HS)


