in

Jika Pejabat Kota Semarang Mau Turun Bawah, Mungkin Kebijakannya Tak Jadi Kertas Kosong

Gambar ilustrasi AI.

PAGI-PAGI di Semarang, mobil dinas berplat merah melaju mulus di Jalan Pandanaran. AC dingin, sopir siap, kopi sudah di tangan. Di luar, tukang becak ngos-ngosan narik penumpang, pemulung mendorong gerobaknya yang di dalamnya ada anak kecil mengelap ingus dengan tangan, dan warga Tlogosari mengeluhkan kualitas air PDAM yang entah kapan diperbaiki.

Sementara itu, para petinggi kota sibuk rapat di ruang ber-AC, presentasi PowerPoint penuh grafik warna-warni, dan foto-foto kegiatan “turun ke lapangan” yang ternyata cuma mampir sebentar, foto, terus kabur naik mobil lagi. Klasik.

Coba sekali saja para pejabat ini mau turun bawah, melihat kondisi riil di masyarakat. Misal melihat langsung tradisi baru, tawuran anak-anak di sekitar Marabunta di Kecamatan Semarang Utara, melihat langsung semrawutnya penataan drainase jalan di wilayah Tembalang yang akhirnya menyebabkan banjir di wilayah sekitar, atau jalan-jalan ke Pasar Peterongan untuk mendengar keluhan pedagang dan masyarakat tentang kenaikan beberapa bahan pokok.

Dan kalau mereka bertahan sampai satu jam, mungkin mereka akan pulang dengan kesimpulan baru: “Oh, ternyata rakyat itu hidupnya begini.”

Kalau kebiasaan turun langsung ini dilakukan beneran, bukan cuma buat konten Instagram, dampaknya luar biasa. Pertama, pemahaman jadi lebih akurat. Pejabat tidak lagi percaya laporan staf yang katanya “sudah ditangani” padahal cuma difoto doang.

Mereka bakal lihat sendiri bahwa program mereka yang bersifat top down, apakah benar-benar menyentuh isu kerakyatan atau tidak.

Kedua, kebijakan bakal lebih pas. Sebelum menyalahkan warga soal perilaku membuang sampah, mending benerin truk sampah yang rusak semua dulu, atau menyediakan banyak tempat pembuangan sampah sementara. Jangan malah lokasi tempat pembuangan sampah ditutup oleh oknum warga yang ingin menguasai, seperti kasus yang pernah geger di Kelurahan Sendangmulyo, Kecamatan Tembalang.

Mau bangun taman baru? Coba lihat dulu got-got di sekitar perkampungan padat di Kecamatan Gayamsari dan Genuk. Kebijakan yang lahir dari kursi empuk biasanya cuma enak di atas kertas, tapi kalau lahir dari sepatu basah dan keringetan, biasanya lebih masuk akal.

Ketiga, kepercayaan publik naik. Warga Semarang itu orangnya santai, tapi kalau sudah kesel, ya kesel beneran. Lihat saja tiap ada pejabat datang pakai rombongan, warga malah sembunyi di rumah. Beda kalau pejabat datang sendirian, naik angkot, ngobrol di warung, beli gorengan. Besoknya cerita di grup WA RT sudah heboh: “Eh, Bu Pejabat tadi ke sini naik BRT, loh! Beneran!”

Keempat, masalah ketahuan lebih cepat. Banjir? Langsung kelihatan penyebabnya apa, pompa air mati atau saluran mampet. Jalan berlubang? Tidak perlu nunggu laporan warga, langsung lihat sendiri lubangnya mau ditambal kapan. Jauh lebih efisien daripada nunggu musim hujan datang baru panik cari anggaran darurat.

Tapi sayang seribu sayang, realitasnya malah sebaliknya.

Para pimpinan daerah lebih suka memimpin dari balik tembok tebal dan “pagar tinggi” yang katanya untuk keamanan, tapi oleh warga dicap sebagai tembok pembatas rakyat.

Istilah “pagar” sendiri sudah jadi meme di kalangan warganet Semarang sejak awal tahun, merujuk pada orang-orang dekat kekuasaan yang justru jadi penutup mata dan telinga pimpinan dari kritik publik.

Hasilnya? Suara rakyat sampai ke atas cuma yang sudah disaring berkali-kali, seperti kopi tubruk yang tinggal ampasnya doang.

Akibatnya, program bansos foto-foto doang, proyek drainase ambrol, dan warga tetap jadi penonton setia banjir tahunan.

Sangat mungkin bagi seorang wali kota atau pejabat lainnya untuk sesekali lepas jas, pakai sandal jepit, naik ojek online, dan ngobrol sama penjual dawet di pasar.

Tapi entah kenapa, hal sesederhana itu terasa lebih sulit daripada bikin proyek jembatan kaca, patung menari atau apalah itu.

Jadi, para pejabat terhormat, kalau suatu hari kalian bosan duduk di ruang rapat dan ingin coba sensasi baru, coba deh lepas sepatu pantofel, pakai kaos oblong, dan jalan-jalan keluar Balaikota, mungkin ke Sampangan, Semarang Utara, Gayamsari, tanpa protokoler.

Dijamin pulangnya kalian tidak cuma bawa laporan staf ahli, tapi pemahaman baru bahwa memimpin itu sebenarnya cukup mau dengar dan mau lihat sendiri.

Dan siapa tahu, setelah itu Semarang benar-benar jadi kota yang tidak cuma indah di brosur, tapi juga nyaman buat semua yang tinggal di dalamnya, tidak hanya bagi para staf ahli atau tim percepatan pembangunan saja. Atau bahkan bagi teman dekat pimpinan daerah saja. Amin.(Tulisan ini disempurnakan oleh AI-HS)

Terima Perwakilan Buruh, Wali Kota Semarang Tegaskan Komitmen Perjuangkan Kenaikan UMR–UMSK 2026

Audiensi dengan Taj Yasin, Perusahaan Asal Tiongkok Bakal Tanamkan Invetasi Senilai Rp 1 Triliun ke Jateng