
HALO SEMARANG – Pemerintah atau Presiden didorong segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK.
Hal itu sebagai salah satu upaya untuk menyelamatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari upaya pelemahan, dengan adanya revisi UU KPK. Revisi UU ini dinilai banyak kalangan justru dapat mematikan fungsi penindakan hukum terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.
Dengan adanya Perppu KPK, diharapkan bisa membatalkan revisi UU KPK yang dapat menghambat kerja-kerja KPK untuk menjalankan tugasnya dalam memberantas korupsi.
“Dalam kaitan revisi UU KPK ini harus ada komunikasi politik antara DPR yang baru dilantik dengan Presiden untuk memastikan Perppu itu terbit. Tapi dalam perspektif masyarakat sipil, soal Perppu diterima atau tidak, itu masalah kedua. Bagi kami, masalah yang lebih penting adalah realitas dari UU KPK baru membuat KPK itu mati. Karena tidak bisa menjalankan fungsinya dalam penindakan hukum. Sehingga ada kondisi genting, di mana pemberantasan korupsi tidak berjalan,” ujar Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan, dalam acara diskusi Diskusi Kupas Tuntas UU KPK di kampus Unisbank Semarang baru-baru ini.
Lalu siapa yang bisa mengambil tanggung jawab tersebut, kata Adnan, yang punya peran yakni Presiden. Karena bagaimana pun, yang menyetujui UU KPK juga seorang kepala negara. Sehingga Presiden dalam hal ini punya ruang menerbitkan Perppu, karena pembahasan yang dilakukan oleh DPR sudah keluar dari apa yang dikehendaki Presiden.
“Kalau harus judial review ke MK prosesnya akan panjang, DPR dan Presiden lepas tanggung jawab dengan produk hukum mereka. Ini artinya dua-duanya mau KPK mati. Sekaligus menguji posisi Presiden di pihak yang mana, apakah mau mengelurkan Perppu atau tidak,” imbuhnya
Dijelaskan, jika akhirnya nanti Perppu tidak muncul, berarti UU KPK akan berlaku 30 hari ke depan, atau awal November 2019. Tentunya dengan UU KPK baru, pemberantasan korupsi tidak ada hasil guna dan daya guna.
“Padahal mandat di dalam UU KPK itu ada untuk menghasilkan daya guna. Kami akan kembali ke titik nol lagi, di mana yang berwenang untuk menangani korupsi adalah jaksa dan, polisi,” paparnya.
Dekan Fakultas Hukum Unisbank Semarang, Rochmani mengatakan, pihak kampus mendorong kepada Presiden untuk mengambil sikap paling efektif untuk membatalkan revisi UU KPK yang baru.
Apalagi Presiden punya alasan kegentingan yang mendesak. Dari hasil kajian ilmiah yang dilakukan pihaknya, revisi UU KPK tidak ada baiknya. Justru akan melemahkan KPK yang sudah terlihat hasil kerjanya selama ini. Sehingga pihaknya akan terus mendorong Presiden untuk segera menerbitkan Perppu.(HS)