
HALO SEMARANG – Bagi masyarakat yang aktivitasnya sering melewati Jalan Setiabudi, Kota Semarang, tepatnya di depan Markas Komando (Mako) Bataliyon Infantri (Yonif) Raider 400/ Banteng Raider Srondol, akan melihat kawanan burung kuntul atau blekok yang terbang bebas ke sana kemari dan bertengger dari satu dahan ke dahan lain di atas pohon-pohon asam yang rindang. Habibat burung kuntul yang disebut untuk keluarga burung ardeidai ini hidup aman dan bebas di tengah Kota Semarang.
Dan jenis burung ini, di Indonesia adalah salah satu jenis burung yang harus dilestarikan dan dilindungi oleh Undang-Undang no 5 tahun 1990 dan tertuang di dalam lampiran PP No 7 tahun 1997.
Untuk melihat lebih banyak aktivitas kawanan burung kuntul ini, kita harus datang saat pada waktu pagi hari sekitar pukul 08.00-09.00, karena sebelum burung yang berwarna putih dan memiliki paruh panjang tersebut pergi mencari makan di sekitar pantai atau rawa-rawa yang berair. Mereka akan terbang bebas untuk makan ikan, katak dan jenis mahluk air lainnya. Kadang kalau kita beruntung, sejumlah burung kuntul akan turun ke tanah ketika haus untuk minum air di kolam ikan yang ada di Markas Yonif Raider 400.
Dalam buku berjudul Remah-remah Kisah Semarang (2012), tulisan Rukardi menceritakan, beberapa jenis burung kuntul yang ada di Srondol Semarang sudah ada sejak puluhan tahun silam. Ada cerita juga, terkait burung kuntul itu pada dulunya, ketika orang diketahui memburu burung kuntul di sekitar markas komando Raider, maka akan dipaksa untuk memakan mentah-mentah daging kuntul tersebut.
Sehingga masyarakat sekitar tidak berani untuk memburu jenis burung yang makin langka itu di sekitar Markas Yonif Raider 400.
Lalu, perkembangannya, burung blekok ini juga dijadikan motif untuk membuat batik khas Semarangan, selain motif lawang sewu, dan hewan kera ekor panjang Kandri.
Bahkan, ada juga mitos atau cerita dari masyarakat sekitar yang mengatakan, konon jika makin banyaknya jumlah burung kuntul di depan Mako Raider 400 ini, akan berpengaruh pada personel Prajurit Raider 400/Banteng Raider Kodam IV/Diponegoro. Karena sebagai pasukan pemukul Kodam IV/Diponegoro, sering ditugaskan sebagai pasukan satuan tugas (satgas) pengamanan perbatasan atau menjaga patok batas Negara, dan pasukan pengamanan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di luar negeri.
Sehingga, Prajurit Raider 400/Banteng Raider juga ikut menjaga kelestarian habitat burung kuntul tersebut sampai sekarang.
Widhiarso warga sekitar yang ditemui di sekitar lokasi mengaku tidak tahu kapan burung itu mulai bersarang di pohon dekat markas. Namun ia yakin, keberadaan burung itu lebih tua dibanding usia markas.
“Ada seribu lebih burung. Ada yang berwarna putih, coklat, dan ada yang berjambul. Dulu sekitar tahun 1998 jalan sini belum ramai. Pohon masih banyak, sekitar sini juga masih banyak sawah,” ujarnya, beberapa waktu lalu.
Namun, beberapa tahun lalu, keberadaan kuntul makin terdesak. Bising kendaraan dan polusi jalan mengusik ketenangan burung yang masuk dalam daftar satwa yang dilindungi UU ini.
Pembangunan real estate dan jalan tol di sekitar Banyumanik dan Tembalang telah memakan areal persawahan, tempatnya mencari sumber makan. Bahkan, wilayah tepi pantai, tambak dan hutan bakau yang ikut menyumbang sumber makan, kini beralih fungsi menjadi permukiman dan industri.
Populasi Kuntul pun kian menyusut. Kini, menurut Widhi, populasi Kuntul Srondol hanya sekitar 300 ekor.
“Sekarang berkurang drastis. Burungnya tidak seramai dulu, sangat disayangkan,” ucapnya.
Untuk menjaga kelestarian satwa langka ini, satuan Raider 400 selalu siaga mengamankan kuntul dari serangan tangan-tangan jahil masyarakat. Di kompleks markas, dibangun kolam kecil untuk cadangan air minum burung.
Di dalamnya, biasa ditabur ikan untuk sumber makan kuntul. Sementara anggota satuan secara bergiliran membersihkan kotoran dan sisa makanan kuntul yang tercecer di kompleks markas dan trotoar jalan, setiap hari.(HS)