
HALO SEMARANG – Tradisi menyambut Lebaran Ketupat atau tujuh hari setelah Hari Raya Idul Fitri banyak ditemui di sejumlah daerah di Jawa Tengah, salah satunya di Kota Semarang.
Tradisi ini bisa dibilang unik, yang ditemui di Kelurahan Pedurungan Tengah yang menggelar tradisi Kupat Jembutan atau Kupat Jembut. Sudah ada sejak tahun 1950, konon kupat ini tercipta dari kehidupan warga yang serba terbatas. Para warga yang membuat kupat jembut, kemudian membagikannya kepada anak-anak setempat.
“Acaranya (tradisi Kupat Jembut) dilaksanakan setelah subuh. Yang membuat kupat nanti dibagikan kepada anak-anak yang datang. Bagi yang tidak sempat membuat bisa memberikan sedekah berupa uang,” ujar Ketua RW I Kelurahan Pedurungan Tengah, Kecamatan Pedurungan, Wasi Darono.
Setelah matahari muncul anak-anak RW I berdatangan dengan membawa plastik. Saat itulah, seorang warga akan memukul tiang listrik dengan batu. Hal itu, menjadi tanda jika tradisi kupat jembut akan dilaksanakan.
Kemudian anak-anak dengan tertib dan menerapkan protokol kesehatan, dibariskan menyusuri kampung. Tentunya untuk menerima kupat jembutan dari rumah-rumah warga yang membuat.
“Setiap satu tahun sekali kalau Lebaran biasa tradisinya halal bi halal di pinggiran jalan setelah Salat Id. Untuk Syawalan ini tradisi untuk anak anak,” imbuhnya.
Darono mengatakan, tradisi ini sebagai simbol perjuangan orang-orang di zaman dahulu. Dirinya berharap tradisi yang diadakan tujuh hari setelah Lebaran ini tetap dilestarikan. Hingga saat ini, dirinya bersama warga RW I Kelurahan Pedurungan Tengah mencoba mempertahankan tradisi tersebut meskipun di tengah era globalisasi dan pandemi Covid-19.
“Harapannya, yang penting warga menunjukkan bahwa ini tradisi yang baik untuk diuri-uri dalam rangka untuk silaturahmi dan untuk kebersamaan dalam masyarakat,” tutupnya.
Kontroversial
Dari segi namanya, Kupat Jembut memang terdengar kontroversial.
Namun terlepas dari itu, dari segi asal-muasal, tradisi kupat ini punya akar tradisi yang kuat.
Kupat jembut kurang lebih seperti kupat biasa yang di tengahnya dimasuki sayur-sayuran yang diurap dengan kelapa parut. Selain kupat jembut, ada juga yang menyebut dengan “kupat sumpel”.
Selain di Pedurungan Tengah, tradisi bagi-bagi kupat jembut juga dilakukan di Jaten Cilik yang masih satu kecamatan dengan Pedurungan Tengah.
Menurut informasi dari warga, dulu warga masih hidup dalam kesederhanaan di tengah kehidupan kolonial. Saat bulan Ramadan warga ingin melakukan syukuran. Akhirnya karena yang ada hanya bahan baku kelapa, tauge, dan cabai, terciptalah kupat jembut.
Tradisi ini terus dijaga secara turun temurun. Terkait penyebutan jembut, hal ini sebetulnya hanya spontanitas warga.
Sebab memang dari bentuk mirip seperti organ kelamin perempuan. Tapi kendati demikian, bukan berarti sebutan itu dimaksudkan untuk pemaknaan yang jorok.(HS)