in

WHO Mencatat Sekitar 12 Persen Penduduk Dunia Alami Gangguan Kesehatan Mental

Sumber : Kemkes.go.id

 

HALO SEMARANG – Sebuah kabar mengejutkan disampaikan WHO mengenai kesehatan mental penduduk dunia. Menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia di bawah PBB itu, hampir satu miliar.

Jika jumlah penduduk dunia menurut perkiraan PBB yang dielaborasi oleh Worldometers sekiitar 8 miliar, maka jumlah orang yang mengalami berbagai bentuk gangguan mental, sekitar 12 persen dari seluruh penduduk dunia.

Dalam rilis yang disampaikan PBB melalui laman news.un.org, baru-baru ini, pada tahun pertama pandemi Covid-19, tingkat kondisi umum seperti depresi dan kecemasan, naik lebih dari 25 persen.

Kondisi ini membuat WHO, mendesak lebih banyak negara agar melakukan berbagai upaya, mengatasi kondisi tersebut, untuk mencegah kondisi makin memburuk.

Berbagai negara, perlu segera melakukan penanganan, karena kesehatan mental berperan besar dalam pembangunan berkelanjutan.

“Hidup setiap orang menyentuh seseorang dengan kondisi kesehatan mental,” kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus.

Dia mengingatkan bahwa kondisi mental juga sangat berpengaruh pada kesehatan secara keseluruhan, termasuk fisik.

“Hubungan tak terpisahkan antara kesehatan mental dan kesehatan masyarakat, hak asasi manusia, dan pembangunan sosial ekonomi. Ini berarti dengan mengubah kebijakan dan praktik dalam kesehatan mental, dapat memberikan manfaat nyata dan substantif bagi individu, komunitas, dan negara di mana pun. Investasi untuk kesehatan mental adalah investasi untuk kehidupan dan masa depan yang lebih baik untuk semua,” kata dia.

Namun demikian, kesempatan orang untuk mengakses pelayanan kesehatan mental, juga tak sama di tiap negara. Di sebagian wilayah, sebelum Covid-19 melanda, hanya sebagian kecil orang yang memiliki akses ke perawatan kesehatan mental yang efektif, terjangkau, dan berkualitas.

Kesenjangan antara negara kaya dan miskin, juga menyebabkan akses yang tidak setara ke perawatan kesehatan.

Dia memberi contoh, di negara-negara berpenghasilan tinggi, 7 dari 10 orang dengan psikosis, dapat menerima perawatan yang baik. Kondisi ini berbeda dengan negara-negara berpenghasilan rendah, di mana pengidap psikosis yang dapat mengakses pelayanan kesehatan hanya 12 persen.

“Situasinya lebih dramatis untuk kasus-kasus depresi,” kata dia.

Di negara-negara berpenghasilan tinggi, hanya sepertiga penderita depresi yang menerima perawatan kesehatan mental secara formal. Adapun di negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah, hanya tiga persen yang mendapatkan perawatan itu.

“Kita perlu mengubah sikap, tindakan, dan pendekatan, untuk mempromosikan dan melindungi kesehatan mental. Juga untuk menyediakan dan merawat mereka yang membutuhkan,” kata Tedros.

“Kita dapat dan harus melakukan ini, dengan mengubah lingkungan yang memengaruhi kesehatan mental kita dan dengan mengembangkan layanan kesehatan mental berbasis masyarakat yang mampu mencapai cakupan kesehatan universal untuk kesehatan mental,” lanjut dia.

Bagaimana Indonesia ?

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Dr.Celestinus Eigya Munthe, melalui kemkes.go.id, 7 Oktober 2021 lalu pernah menjelaskan bahwa prevalensi orang dengan gangguan jiwa, sekitar 1 dari 5 penduduk.

Hal itu berarti sekitar 20% populasi di Indonesia, mempunyai potensi-potensi masalah gangguan jiwa.

“Ini masalah yang sangat tinggi karena 20% dari 250 juta jiwa secara keseluruhan potensial mengalami masalah kesehatan jiwa,” katanya.

Ditambah lagi sampai saat ini belum semua provinsi mempunyai rumah sakit jiwa sehingga tidak semua orang dengan masalah gangguan jiwa mendapatkan pengobatan yang seharusnya.

Permasalahan lain, lanjut Celestinus, adalah terbatasnya sarana prasarana dan tingginya beban akibat masalah gangguan jiwa.

“Masalah sumber daya manusia profesional untuk tenaga kesehatan jiwa juga masih sangat kurang, karena sampai hari ini jumlah psikiater sebagai tenaga profesional untuk pelayanan kesehatan jiwa kita hanya mempunyai 1.053 orang,” ucapnya.

Artinya, satu psikiater melayani sekitar 250 ribu penduduk. Menurutnya, ini suatu beban yang sangat besar dalam upaya meningkatkan layanan kesehatan jiwa di Indonesia.

Tak hanya itu, masalah kesehatan jiwa di Indonesia juga terkendala stigma dan diskriminasi.

“Kita sadari bahwa sampai hari ini kita mengupayakan suatu edukasi kepada masyarakat dan tenaga profesional lainnya agar dapat menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan gangguan jiwa, serta pemenuhan hak asasi manusia kepada orang dengan gangguan jiwa,” tutur Celestinus. (HS-08)

Kheisya Ndredeg Menari Bareng Ganjar, Tapi Senang Dapat Laptop

Teman Kecilnya Meninggal Dunia, Ganjar Mengenang Masa Kecilnya Bersama Kamso