in

Semarang Hari Ini Sedang Tak Baik-baik Saja

Foto ilustrasi AI.

SIANG tadi, di sebuah warung angkringan di sekitar kawasan Simpanglima Semarang, seorang bapak tua mengipas-ngipas koran sambil mengeluh. “Lho, kok Semarang ini panasnya minta ampun, padahal sudah musim hujan?”

Di seberang meja, anak muda yang dilihat dari penampilannya mungkin seorang mahasiswa, cuma geleng-geleng kepala, sambil scrolling ponsel: “Bapak, ini efek bukit-bukit kita diratakan sama alat berat. Sekarang banjirnya saja sudah jadi menu harian saat musim hujan. Dan saat kemarau, panasnya kayak di dalam alat pemanggang.”

Cerita seperti ini bukan sekadar obrolan iseng. Di Semarang, hari-hari biasa kini terasa seperti episode komedi hitam yang tak kunjung tamat. Kota yang dulu bangga dengan Kota Lama, sekarang lebih dikenal gara-gara urusan pembahasan anggaran yang molor, tanah dirusak demi beton, dan tim sepak bola kesayangan yang seolah alergi kemenangan. Belum lagi soal kemacetan jalanan dan maraknya parkir liar.

Mari kita kupas satu per satu, dengan nada ringan dengan tetap menjaga semangat “jangan lupa bahagia”.

Mulai dari urusan kantong kota dulu. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Murni 2026 seharusnya sudah kelar dibahas sejak akhir September atau paling lambat awal November, sesuai jadwal standar yang diatur dalam peraturan pemerintah.

Tapi lihatlah hari ini, kita sudah melewati pertengahan November 2025, dan pembicaraan itu masih bergulat-gulat di meja DPRD dan wali kota. Dan konon, sempat alot. Data dari Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Semarang menunjukkan, realisasi APBD tahun ini saja baru nyangkut di 70 persen per 18 November.

Kritik dari warga dan aktivis lokal bergema di media: kenapa prosesnya lambat seperti siput naik gunung? Jawabannya, mungkin para pejabat sibuk debat soal alokasi dana yang tak kunjung pas, antara pembiayaan penambahan Tenaga Ahli OPD atau perbaiki drainase agar tak banjir.

Ironisnya, sementara warga menunggu jalan mulus, yang datang malah janji manis yang numpuk seperti sampah di Kali Semarang. Hasilnya? Proyek mangkrak, dan kota ini seperti kapal tanpa nahkoda, melaju ke arah yang, cuma Tuhan dan Lantai 8 Gedung Moh Ichsan Kompleks Balai Kota yang tahu.

Nah, dari kantong yang bocor, kita lanjut ke tanah yang bolong-bolong. Isu lingkungan di Semarang ini seperti drama sinetron panjang: setiap episode ada plot twist, tapi endingnya selalu banjir atau kekeringan.

Bukit-bukit hijau di Semarang bagian atas, seperti Gunungpati dan Tembalang, dikeruk habis-habisan untuk tambang tanah urugan. Bukit seluas puluhan hektare diratakan. Di sisi lain, pantai utara direklamasi demi yang katanya kemajuan pembangunan.

Dampaknya? Saat kemarau, panasnya bukan main: suhu bisa tembus 38 derajat Celsius, udara kering seperti gurun mini, dan warga bergantian antre air tanah. Tapi begitu hujan turun, walaupun cuma satu jam, air langsung ngumpul di mana-mana.

Baru-baru ini, banjir Oktober 2025 genangi beberapa kecamatan di Kota Semarang, dengan genangan setinggi 60 sentimeter yang bikin macet kilat di Jalan Kaligawe.

Prestasi PSIS Jeblok

Semarang ini seperti kota yang punya dua musim ekstrem, panas gosong di siang, basah kuyup di malam, semua gara-gara kita sibuk ngerusak spons alamnya sendiri.

Pegiat lingkungan bilang, ini bukan nasib buruk, tapi pilihan buruk: prioritaskan beton daripada pohon, hasilnya kota yang banjirnya seperti pesta air gratis, tapi tagihannya dibayar warga lewat dampaknya.

Dari tanah basah, kita geser ke lapangan hijau yang malah kering gol. PSIS, klub yang dulu bikin warga bangga dengan chant “Laskar Mahesa Jenar”, kini jadi bahan olok-olok nasional.

Di Grup B Liga 2 Pegadaian Championship 2025–2026, tim ini terpuruk di dasar klasemen setelah jadi bulan-bulanan klub lain. Mungkin lawan klub lokal Persisac saja, tim ini susah menang. Stadion Jatidiri Semarang yang biasa ramai, sekarang sepi seperti pasar malam hari Senin.

Suporter setia enggan datang, dan di rumah menyaksikan live streaming dengan doa, “semoga masih ada keajaiban”.

Ironinya, sementara pemerintah kota sibuk urus anggaran mandek, tim kebanggaan ini seperti metafor hidup Semarang: punya potensi besar, tapi eksekusinya sering nyungsep.

Transisi dari lapangan ke meja rapat tak jauh beda, semuanya soal prioritas yang salah urus. Pemerintah kota katanya mau bangun Semarang jadi kota metropolitan, tapi kalau anggaran telat, lingkungan rusak, dan hiburan mandul, yang dibangun malah frustrasi warga.

Data dari BNPB tunjukkan, banjir tahunan ini bukan cuma hujan deras, tapi akumulasi kerusakan ekologis yang tak ditangani. Begitu pula dengan APBD, keterlambatan ini bukan hal baru, tapi tren yang bikin investor ogah singgah.

Dan PSIS? Mereka butuh lebih dari semangat, tapi perombakan total.

Tapi di balik banjir dan kekalahan klub kebanggaan, masih ada harapan: besok, mungkin hujan reda, anggaran kelar, dan PSIS catatkan kemenangan. Atau minimal, kita masih bisa ketawa bareng sambil nyeruput kopi di warung kucingan, sambil membicarakan isu renggangnya hubungan para pemimpin di kota ini.(Tulisan ini disempurnakan oleh AI-HS)

Jamin Pasokan Gas Bumi, FSRU Lampung Kembali Terima Kargo LNG ke-20

Wagub Jateng Lepas Kontingen Barongsai Ikuti Kejurnas di Bali, Ingatkan Kebersamaan dan Kekompakan