HALO DEMAK – Pemerintah Kabupaten Demak meminta warganya untuk mewaspadai leptospirosis, terutama selama musim hujan ini.
Dari data Dinas Kesehatan Demak, sepanjang 2024, di wilayah itu terdapat 65 kasus leptospirosis, dengan 5 orang di antaranya meninggal dunia.
Kepala bidang Pencegahan dan pengendalian penyakit (P2KB) Dinkes Demak Hery Winarno, mengatakan jumlah penderita penyakit yang disebarkan oleh tikus ini, mengalami kenaikan, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Pada tahun 2022 jumlah penderita 42 orang, meninggal 13 orang. Sedangkan data tahun 2023 kemarin, jumlah penderita sebanyak 53 orang, meninggal 6 orang. Adapun pada 2024, jumlah penderita 65 orang dan 5 orang di antaranya meninggal.
Dari 5 orang yang meninggal tersebut, 1 orang di wilayah Puskesmas Bonang 1, 1 orang di wilayah kerja Puskesmas Mranggen, 2 orang di wilayah Puskesmas Wonosalam, dan 2 orang di wilayah Puskesmas Karangawen.
Dia juga menyebutkan, Kabupaten Demak merupakan salah satu Kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki kasus leptospirosis, disertai dengan angka kematian, hampir setiap tahunnya di 12 Kecamatan.
Penularan penyakit tersebut ke manusia dari hewan diketahui akibat kontak dengan tanah dan air (air buangan kamar mandi, air sungai dan air tanah) yang telah tercemar bakteri leptospirosis dari kencing tikus.
Ditambahkan Heri, leptospirosis merupakan salah satu zoonosis yang ditularkan melalui kencing tikus yang erat hubungannya dengan sanitasi lingkungan masyarakat.
Zoonosis
Sementara itu menurut keterangan dari Kemenkes RI, melalui ayosehat.kemkes.go.id, leptospirosis adalah penyakit zoonosa yang disebabkan oleh infeksi bakteri, berbentuk spiral dari genus leptospira yang patogen atau dapat menyebabkan infeksi.
Leptospirosis merupakan zoonosis yang diduga paling luas penyebarannya di dunia, di beberapa negara di dunia dikenal dengan istilah “demam urine tikus”.
Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, dengan perkiraan kejadian tahunan sebesar 1,03 juta kasus dan 58.900 kematian.
Insiden yang tinggi ditemukan di negara dengan iklim tropis dan sub-tropis, khususnya di negara-negara kepulauan dengan curah hujan dan potensi banjir yang tinggi.
Oleh sebab sulitnya diagnosis klinis dan ketiadaan alat diagnostik banyak kasus leptospirosis yang tidak terlaporkan.
Faktor lemahnya surveilans, keberadaan reservoir dengan tingginya populasi tikus dan kondisi sanitasi lingkungan yang buruk dan kumuh akibat banjir, merupakan faktor-faktor penyebab terjadinya kasus leptospirosis.
Di Indonesia, tikus adalah sumber utama penular leptospirosis (jenis tikus : suncus murinus, mus muscullus, rattus novergicus, bandadicota indica), dan binatang lainnya anjing, babi, sapi, kambing.
Cara Penularan
Leptospirosis ditularkan melalui urin binatang, yang mengandung bakteri leptospira, yaitu melalui invasi mukosa atau kulit yang tidak utuh.
Infeksi dapat terjadi dengan kontak langsung atau melalui kontak dengan air (sungai, danau, selokan, lumpur atau tanah) yang tercemar / terkontaminasi bakteri Leptospira.
Penyakit ini berkembang di alam diantara hewan baik liar maupun domestik, dan manusia menjadi host yang merupakan infeksi akhir atau terminal, karena belum terlaporkan infeksi dari manusia ke manusia.
Gejala
Gejala klinis leptospirosis, antara lain demam ≥ 38⁰ C, sakit kepala, badan lemah, nyeri betis hingga kesulitan berjalan, conjungtival suffusion (kemerahan pada selaput putih mata), kekuningan (ikterik) pada mata dan kulit, pembesaran hati dan limpa, dan ada tanda-tanda kerusakan pada ginjal.
Masa inkubasi antara 2-30 hari, rata-rata berlangsung 7-10 hari.
Adapun daerah sebaran leptospirosis di Indonesia, yakni di Provinsi DKI Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Maluku, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Kepulauan Riau dan Bali.
Leptospirosis masih menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat dengan terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) di beberapa wilayah di Indonesia, berkaitan dengan keberadaan faktor risiko yaitu tingginya populasi tikus (rodent) sebagai reservoar leptospirosis, buruknya sanitasi lingkungan serta semakin meluasnya daerah banjir di Indonesia.
Faktor Risiko
Adapun warga yang menhadapi risiko terinfeksi, adalah yang bertempat tinggal atau beraktivitas di wilayah banjir, di wilayah pemukiman yang banyak ditemukan tikus, melakukan aktivitas di sungai, olahraga di air.
Mereka seperti petani, peternak, petugas kebersihan, petugas pemotongan hewan, tentara dan lain-lain
Pengobatan leptospirosis relatif mudah dilakukan pada stadium awal, setelah ditegakan diagnosis klinis, karena hingga saat ini masih sensitif dengan anbiotika yang tersedia di puskesmas/pelayanan kesehatan dasar dan rumah sakit, namun sering terjadi kasus diakhiri dengan kematian.
Hal tersebut disebabkan karena keterlambatan dalam deteksi dini secara klinis, sehingga pasien datang ke rumah sakit sudah terlambat dan pada keadaan stadium lanjut (telah mengalami kegagalan multi organ)
Masyarakat dapat melakukan tindakan pencegahan leptospirosis yaitu:
- Menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
- Menjaga kebersihan lingkungan, melakukan pemberantasan sarang tikus
- Segera mengunjungi Puskesmas/Rumah Sakit bila mengalami gejala leptospirosis
(HS-08)