in

Revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban, Legislator Ini Ungkap Persoalan Jaminan Keamanan Saksi

Ilustrasi LPSK. (Foto lpsk.go.id)

 

HALO SEMARANG – Anggota Komisi XIII DPR RI dari Fraksi PKB, Elpisina mengungkapkan keengganan masyarakat untuk menjadi saksi sebuah kasus kejahatan, karena alasan keamanan.

Hal itu diungkap oleh Anggota Komisi XIII DPR RI dari Fraksi PKB, Elpisina, terkait kunjungan komisi tersebut ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kunjungan tersebut untuk menyerap berbagai aspirasi, dalam rangka pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Revisi tersebut untuk memperkuat perlindungan terhadap saksi dan korban, dalam proses hukum.

Anggota Komisi XIII DPR RI, Elpisina, menjelaskan bahwa revisi undang-undang ini bertujuan memastikan rasa aman dan nyaman bagi para saksi dan korban yang ingin mengungkapkan kebenaran dalam proses hukum.

Ia menegaskan bahwa keamanan menjadi faktor utama yang sering membuat masyarakat enggan bersaksi.

“Dalam diskusi berkembang, kami temukan fakta bahwa sebagian masyarakat enggan menjadi saksi karena faktor keamanan dan kenyamanan yang belum terjamin. Melalui perubahan ini, kami ingin undang-undang mampu memberi jaminan perlindungan bagi seluruh warga negara, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran untuk mengungkap fakta-fakta tindak pidana,” ujar Elpisina, baru-baru ini seperti dirilis dpr.go.id.

Dalam kunjungan tersebut, Komisi XIII DPR RI berdialog langsung dengan Wakil Ketua LPSK, Antonius Prijadi Soesilo Wibowo, serta anggota LPSK Mahyudin, dan sejumlah mitra kerja.

Mereka mendengarkan berbagai masukan terkait kebutuhan revisi, termasuk penguatan kewenangan LPSK dan perbaikan koordinasi antar-instansi.

“Mudah-mudahan semua saran dan pendapat dari para stakeholder, baik dari ormas, pemerintah daerah, maupun aparat penegak hukum, menjadi bekal penting bagi Komisi XIII dalam pembahasan perubahan undang-undang ini,” kata dia.

Data dari LPSK Yogyakarta menunjukkan adanya peningkatan permohonan perlindungan.

Pada tahun 2024, terdapat 270 pemohon, dengan 253 terlindung.

Sementara dalam periode Januari hingga April 2025 saja, sudah ada sekitar 240 pemohon dan 250 orang yang mendapatkan perlindungan.

Tren peningkatan ini, menurut Elpisina, mencerminkan kebutuhan mendesak akan perlindungan hukum yang lebih kuat dan responsif di masyarakat.

Penjangkauan LPSK melalui kantor perwakilan di daerah juga dinilai efektif dalam mendekatkan layanan kepada korban dan saksi.

Dengan revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban, DPR RI berharap dapat menghadirkan regulasi yang mampu menjawab tantangan nyata di lapangan, serta memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia.

Sementara itu terkait revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban, Komisi XIII DPR RI juga melakukan kunjungan kerja ke Kantor Wilayah Kementerian Hukum Provinsi Jawa Timur, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (26/04/2025).

Hal itu guna menyerap aspirasi serta masukan terkait rencana revisi Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.

Ketua Tim Kunjungan Kerja sekaligus Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Sugiat Santoso, mengatakan Revisi UU ini bertujuan untuk memperkuat keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) agar perlindungan terhadap korban maupun saksi dapat lebih dimaksimalkan.

Upaya memperkuat LPSK tersebut sesuai dengan masukan berbagai pihak.

“Ya, kita tadi sudah mendapat banyak masukan, bagaimana menurut kawan-kawan di daerah Jawa Timur ini LPSK harus semakin diperkuat. Peran mereka sangat penting dan mereka hadir untuk masyarakat. Maka harus kita dukung. Kita juga sudah mendapat masukan terkait sinkronisasi dengan UU KUHAP. Nah, Komisi XIII berkomitmen dengan revisi UU ini, apalagi ini sudah masuk prolegnas 2025,” jelas Sugiat.

Lebih lanjut, Sugiat memaparkan bahwa ada dua isu krusial yang menjadi perhatian dalam revisi UU tersebut.

Pertama, adalah perluasan cakupan kasus yang ditangani oleh LPSK. Tidak hanya terbatas pada kasus tindak pidana kekerasan, tetapi juga diharapkan dapat mencakup kasus-kasus lain seperti kejahatan lingkungan, ketenagakerjaan, hingga kejahatan berbasis teknologi informasi.

“Tadi ada masukan bahwa bukan hanya tindak pidana kekerasan saja. Semoga ke depannya LPSK bisa masuk ke kasus-kasus lainnya seperti kasus lingkungan, ketenagakerjaan, atau kasus-kasus IT. Tentu ini akan kami masukkan dalam revisi UU ini,” ujar Politisi Fraksi Partai Gerindra ini.

Isu kedua yang menjadi perhatian adalah penguatan kelembagaan LPSK. Komisi XIII mendorong agar LPSK dapat memperluas jangkauannya hingga ke tingkat daerah, sehingga kehadirannya dapat dirasakan lebih dekat oleh masyarakat.

“Kami berharap setelah revisi ini disahkan, LPSK bisa membuka kantor-kantor di wilayah lainnya, tidak hanya terpusat di pusat,” tambahnya.

Komisi XIII DPR RI menegaskan komitmennya untuk terus mengawal proses revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban agar lembaga ini semakin kuat dan efektif dalam menjalankan tugasnya melindungi hak-hak saksi dan korban di seluruh Indonesia. (HS-08)

Aksi Begal Seret Pemotor di Kelud Semarang, Dua Orang Diamankan Polisi

Polres Grobogan Gelar Pengamanan Ibadah Minggu di Sejumlah Gereja