BERBICARA soal Kota Lama Semarang, sebenarnya tak hanya sebatas soal kota tua peninggalan Belanda saja. Ada beberapa kota tua lain yang ada di Kota Semarang, yang masuk dalam bagian kawasan Kota Lama secara menyeluruh.
Seperti Pecinan, Kauman, dan Kampung Melayu. Harus diakui, bahwa kawasan-kawasan itu merupakan bagian dari Kota Lama Semarang yang memiliki keunikan dan sejarahnya masing-masing dalam proses pembentukan Kota Semarang.
Meski saat ini, masyarakat dan pemerintah kota menyederhanakan istilah Kota Lama Semarang sebagai wilayah Litle Nederland saja.
Di Kampung Layur, yang masuk dalam kawasan Kampung Melayu misalnya, juga terdapat satu tempat yang menyimpan berbagai peninggalan-peninggalan zaman dahulu.
Salah satunya adalah bangunan kuno seperti Masjid Layur. Masjid ini merupakan salah-satu masjid kuno di Semarang yang terletak di Jalan Layur, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara.
Untuk mencapai lokasi masjid sangatlah mudah, yaitu dari Pasar Johar ke arah Kota Lama melalui Kantor Pos Besar yang berada di Jalan Pemuda, kemudian sebelum Jembatan Berok, belok ke kiri.
Dari beberapa sumber, Masjid Layur ini dibangun pada tahun 1802 masehi. Masjid ini dibangun oleh sejumlah saudagar dari Yaman yang bermukim di Semarang. Masjid Layur dikenal pula dengan nama Masjid Menara Kampung Melayu.
Sampai sekarang masjid ini masih terus dirawat oleh yayasan masjid setempat, sebagai upaya pelestarian sejarah dan sebagai masjid tua kebanggaan Kota Semarang.
Secara menyeluruh Masjid Layur masih asli seperti pertama kali dibuat, hanya ada sedikit perbaikan seperti penggantian genteng dari sebelumnya berupa ijuk, dan penambahan ruang untuk pengelola pada sisi kanan kompleks masjid.
Masjid ini memang berada dalam wilayah Kampung Melayu Semarang. Dinamakan Kampung Melayu karena sudah merupakan tempat hunian pada tahun 1743 yang sebagian besar orang yang mendiami kawasan tersebut adalah orang suku Melayu.
Pada masa tersebut di kampung ini terdapat tempat untuk mendarat kapal dan perahu yang membawa barang dagangan.
Lokasinya yang sangat strategis mengundang orang, khususnya orang-orang dari Arab untuk menempati kampung tersebut. Pada masa itulah kiranya masjid yang telah ada dikembangkan lagi.
Masjid Layur juga biasa dikenal warga sekitar dengan Masjid Menara Kampung Melayu, karena terdapat menara yang menjulang tinggi di depan. Bangunan masjid mempunyai luas lahan sekitar 270 m².
Area ini dulu sering disebut dengan perkampungan “Arabische Kamp” karena banyaknya warga pendatang keturunan Arab yang mayoritas berasal dari Hadramut, Yaman yang tinggal di sekitar masjid.
Larangan Unik
Masjid Layur merupakan masjid kuno yang memiliki ciri khas gaya arsitrektur Arab-Melayu, dipadu dengan gaya tradisional Jawa.
Ciri Arab-Melayu dapat terlihat dari bentuk menara dan gapura pintu gerbang dengan atap kubah, sedangkan gaya tradisional Jawa dapat dilihat pada bentuk konstruksi bangunan masjid beratap tumpang tiga yang disangga tiang kayu jati.
Ternyata menara masjid ini dulunya digunakan sebagai mercusuar. Pada zaman dulu saat pelabuhan Semarang masih berada di “Kleine Boom”, di sekitaran Sleko-Jembatan Berok.
Setelah diresmikan Kalibaru, pelabuhan dan marcusuar pun berpindah, dan digantikan dengan ukuran yang lebih besar dan lebih tinggi di Mercusuar Williem III yang dibangun tahun 1883.
Setelah itu, bangunan mercusuar yang ada di Masjid Layur dialih fungsikan sebagai menara dan masjid oleh warga sekitar. Itulah mengapa bentuk bangunan masjid ini tidak sama seperti bentuk masjid pada umumnya di Indonesia.
Selain sejarahnya, di masjid ini ada kepercayaan unik yang masih dipegang masyarakat sekitar. Jarang sekali terlihat ada perempuan melaksanakan salat di bangunan utama masjid ini.
Karena masyarakat sekitar masih memegang kepercayaan, perempuan tidak diperkenankan salat di dalam masjid ini.
Pasalnya dulunya, perempuan dilarang ke masjid ketika sedang haid, namun dimaknai secara luas dan dipercaya sampai sekarang.
“Sekarang sudah dibangun khusus tempat ibadah buat perempuan, tetapi karena sudah terlanjur kental akan kebiasaan tidak salat di masjid akhirnya sama aja sepi,” kata Farhan salah satu warga sekitar.
Sementara itu, Umar tokoh agama di Masjid Layur mengatakan, pembangunan dan perawatan masjid ini dari dulu anggaranya bersumber dari para wakif yang tanah wakafnya disewakan dan uangnya disumbangkan untuk kebutuhan masjid.
“Meskipun ini tanah sudah diklaim pemerintah, namun untuk kebutuhan masjid kita masih mandiri. Dari dulu pernah ngajukan perbaikan ke pemerintah namun tidak ada kelanjutanya lagi, makanya proses perbaikan selanjutnya menggunakan anggaran yang ada,” lanjut Umar.
Masjid ini sejak zaman dahulu terdiri dari dua lantai. Namun karena lantai satu sering banjir, akhirnya diurug dan tinggal satu lantai saja.(HS)