HALO SEMARANG – Rencana Kementerian Pertanian memproduksi massal kalung eucalyptus yang diklaim antivirus corona mengundang berbagai respon.
Di media sosial, banyak yang mengkritisi langkah pemerintah ini. Banyak yang mempertanyakan klaim antivirus corona di saat upaya penemuan vaksin dan obat Covid-19 masih terus dilakukan.
Epidemiolog Griffith University Australia, Dicky Budiman menilai, tak ada relevansi antara kalung antivirus dengan paparan virus corona.
“Saya tidak melihat relevansi yang kuat antara kalung di leher dengan paparan virus ke mata, mulut, dan hidung,” kata Dicky seperti dilansir Kompas.com, Sabtu (4/7/2020).
Dia mengatakan, penularan Covid-19 terjadi melalui beberapa mekanisme seperti droplet aerosol yang terhirup hidung, atau melalui sentuhan ke mata dan mulut.
Meski eucalyptus diketahui memiliki potensi antiviral, Dicky menyebutkan, riset tersebut dalam bentuk spray dan filter.
Itu pun baru pada jenis virus terbatas yang sudah umum, bukan Covid-19.
Oleh karena itu, dia menganggap produksi produk eucalyptus yang ditujukan untuk mencegah virus corona terlalu dipaksakan dan berpotensi menimbulkan salah persepsi.
“Belum terbukti secara ilmiah dan dimuat di jurnal ilmiah tentang potensi mencegah virus SARS-CoV-2,” jelas dia.
“Sebagai gambaran saja, obat anti-malaria yang salah satu senyawanya berasal dari tumbuhan perlu hampir 20 tahun untuk resmi diakui,” lanjut Dicky.
Seperti diketahui, Kementerian Pertanian (Kementan) disebut bakal memproduksi kalungantivirus Corona dari tanaman eucalyptus atau astiri secara massal pada Agustus mendatang.
Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo mengklaim, dari hasil laboratorium, ada satu jenis eucalyptus yang efektif membunuh Covid-19.
“Ini sudah dicoba. Jadi ini bisa membunuh, kalau kontak 15 menit dia bisa membunuh 42 persen dari Corona. Kalau dia 30 menit maka dia bisa 80 persen,” tutur Mentan Syahrul Yasin Limpo usai menemui Menteri PUPR Basuki Hadimuljono di kantor Kementerian PUPR, Jakarta, Jumat (3/7/2020).
Eucalyptus memang digadang-gadang menjadi antivirus Corona. Pada bulan Mei lalu, Kepala Balitbangtan, Fadjry Djufry mengatakan, telah mendapat formula untuk menangkal penularan Covid-19 dari tanaman eucalyptus karena bahan aktif dari tumbuhan tersebut diklaim bisa membunuh Mpro atau enzim dalam virus Corona.
Kementerian Pertanian (Kementan) pun buka suara soal kalung ‘antivirus’ corona yang kini jadi sorotan publik. Kalung tersebut diklaim bukan obat.
Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner Kementerian Pertanian, Indi Dharmayanti menjelaskan, semua inovasi yang dilakukan Kementan masih dalam tahap invitro dengan proses riset dan penelitian yang masih panjang.
“Sebenarnya bukan obat untuk corona, karena riset masih terus berjalan. Tapi ini adalah ekstrak dengan metode desilasi untuk bisa membunuh virus yang kita gunakan di laboratorium. Toh sesudah kita lakukan screening ternyata eucalyptus ini memiliki kemampuan membunuh virus influenza bahkan corona,” katanya dalam keterangan tertulis, Minggu (5/7/2020).
Dalam keterangan tersebut, kata Indi, produk ini tetap akan dipasarkan melalui pihak ketiga, dalam hal ini perusahaan yang bergerak di bidang minyak berbahan dasar tanaman eucalyptus.
“Dalam waktu dekat mungkin akan dipasarkan melalui perusahaan swasta,” katanya.
Indi menjelaskan jika kalung ini merupakan pengembangan dari beberapa produk yang diluncurkan sebelumnya seperti roll on, balsem, minyak aroma terapi dan lain-lain. Dia menyatakan, memang itu bukanlah obat untuk corona.
“Bukan, klaim kita yang di BPOM adalah jamu melegakan saluran pernapasan, mengurangi sesak tapi punya konten teknologi di mana kita buktikan invitro bisa membunuh corona model dan influenza, cenderung mengurangi paparan,” ujarnya.
Dia mengatakan, hal itu masih potensi. Dirinya juga tak pernah menyebutkan jika itu sebagai antivirus Corona.
“Iya, masih potensi Covid. Saya selalu bilang itu potensi semua wawancara tidak klaim itu antivirus kok. Itu berpotensi karena kita akan buktikan pengobatan Covid,” jelasnya.
Dia menambahkan, kalung ini bukan obat. Sebab, untuk menjadi obat butuh proses yang panjang. Dari uji klinis hingga beberapa uji klinis lainnya.
“Nah ini bukan obat, karena memang untuk mengklaim suatu obat itu kan harus melalui prosedur yang sangat panjang, jadi harus uji-uji kita lakukan uji misanya pra klinis, klinis 1, klinis 2 apalagi untuk Covid seperti itu. Kemudian kami riset ini masih on going masih berlanjut akan kami lakukan uji klinis dengan Rumah Sakit Hasanudin milik Unhas yang di Makassar,” katanya.(HS)