BAGI masyarakat Jawa Tengah yang mengalami kehidupan di era tahun 1970-1980-an, tentu tak asing dengan permen Davos. Salah satu produk permen yang sangat populer di masa itu, dan diproduksi PT Slamet Langgeng Purbalingga. Sensasi rasa dingin mint dan manisnya gula, rasa pedas bercampur di lidah dan memberikan kesegaran pada pernapasan. Hampir semua generasi di era 1970-1980an di Jawa Tengah, sehari-harinya akrab dengan jenis permen ini, karena produk permen lain belum banyak beredar seperti sekarang. Permen dengan bungkus biru tua itu kerap menjadi teman berpergian para pemuda kala itu, yang juga dimanfaatkan untuk pengharum aroma mulut.
Namun kini, meski permen Davos masih beredar di toko-toko kelontong, tapi kurang diketahui olah kalangan kaum milenial, khususnya warga di luar daerah Jawa Tengah.
Permen Davos yang konon permen mint pertama di Indonesia, merupakan produk premen yang laris manis di wilayah Jawa Tengah. Namun karena pemasarannya tidak semodern merek lain, tidak melalui promo ataupun iklan, premen ini tidak terdistribusi ke wilayah lain di luar Jateng dan Yogyakarta.
Permen Davos pernah menjadi tren di masyarakat pada era tahun 1970-1980-an. Pada era tersebut permen Davos mudah dijumpai di toko-toko di Jawa. Sampai saat ini permen Davos terus bertahan berkat pelanggan setianya.
Karena kepopulerannya, banyak mitos yang beredar di masyarakat tentang permen ini. Siti Maimunah (60), warga Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan mengatakan, permen ini bahkan pernah dianggap sebagian masyarakat sebagai obat batuk dan obat tenggorokan. Kesegaran mint pada kembang gula ini, dianggap mampu meminimalisir rasa gatal tenggorokan.
“Dan memang kalau pas batuk, mengkonsumsi permen ini agak segar tenggorokan,” katanya.
“Semula mungkin permen ini bagian dari lambang status bagi beberapa orang karena mengonsumsi permen bisa dianggap setara dengan bangsa Eropa. Apalagi nama Davos merupakan nama kota kecil di pegunungan Alpen, Swiss. Davos juga menjadi mitos karena dianggap menyegarkan pernapasan dan juga membuat penyakit tertentu hilang,” ungkap Unggul Pribadi (50), warga Kota Semarang.
Meskipun minim promosi dan tidak terlalu tenar di sejumlah daerah di Indonesia, popularitas permen Davos sangat tinggi di beberapa wilayah Jawa Tengah. Mitos yang berkembang di masyarakat turut membantu eksistensinya hingga kini. Pelafalan nama merek permen Davos pun mudah diucap, sehingga tidak mudah dilupakan penikmatnya.
Sejak 1931
Sejarah panjang ikut menyertai pasang surut permen Davos. Konon tak hanya generasi di era tahun 1980an, jauh sebelum itu masyarakat di Jawa Tengah khususnya di Purbalingga sudah mengenalnya sejak tahun 1930an. Karena menurut sumber yang didapat, Davos masa lalu juga pernah berjaya pada tahun 1933-1937.
Permen ini juga diproduksi PT Slamet Langgeng, milik Siem Kie Djian. Pabrik permen sejak didirikan tanggal 28 Desember 1931 hingga sekarang masih di tempat yang sama, yakni di Jalan Ahmad Yani 67 Kelurahan Kandang Gampang, Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.
Bangunan pabrik juga tidak banyak berubah. Permen Davos merupakan produk pertama dan utama PT Langgeng. Awalnya, selain Davos, Siem Kie Djian juga membuat permen mint dengan merek Kresna. Saat itu perusahaan tersebut masih cukup kecil. Produksinya pun belum banyak seperti sekarang ini.
Sukses membuat permen dengan nama Kembang Gula Davos, Siem mencoba membuat produk lain. Waktu itu ia membuat minuman limun. Limun milik Siem juga banyak diminati masyarakat Purbalingga dan sekitarnya.
Sepeninggal Siem tahun 1961, perusahaan dipegang oleh Siem Tjong An, anak dari Siem Kie Djian. Enam tahun berikutnya, yakni tahun 1967 perusahaan beralih pimpinan lagi ke Toni Siswanto Hardi dan Corrie Simadibrata, masing-masing menantu dan anak Siem Kie Djian.
Dan kini, sejak tahun 1985 PT Langgeng Slamet dipimpin oleh Budi Handojo Hardi atau generasi ketiga dari pendiri PT Langgeng. Tak hanya pimpinan, sebagian besar karyawan yang bekerja juga merupakan keturunan karyawan PT Langgeng sejak pertama berdiri.
Pada awal pemasaran, Davos bahkan hanya mengandalkan gerobak sapi. Berbeda dengan sekarang yang menggunakan mobil boks.
Kinerja perusahaannya mulai turun drastis sejak kedatangan imperialis Jepang tahun 1942. Penjualanannya terjun bebas. Davos konon bangkit lagi tahun 1945 setelah Indonesia merdeka.
Tahun 1959, perusahaan perorangan ini berubah menjadi persekutuan komanditer atau CV. Dan dua tahun berikutnya berubah lagi menjadi PT Purbasari & Co.
Pada tahun 1961 perusahaan berganti nama menjadi PT Slamet Langgeng & Co yang memproduksi permen mint merk Davos, Kresna, Alpina, dan Davos Lux. Selain itu juga membuat limun bermerek Slamet dan biscuit bermerk Slamet. Produksi biscuit dihentikan tahun 1973 karena kesulitan bahan baku.(HS)