
SAAT memasuki musim kemarau, masyarakat di Indonesia dari segala usia, khususnya yang tinggal di daratan rendah biasa memainkan layang-layang. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa sudah tak asing lagi dengan permainan itu.
Layang-layang atau biasa disebut juga ‘layangan’ ini, ketika tiba musimnya, di sudut-sudut tanah lapang atau persawahan, baik perkotaan maupun pedesaan nampak ramai anak-anak mengulurkan senar menerbangkan layangan.
Bagi pecinta permainan layang-layang di Kota Semarang dan sekitarnya, mendengar kata Maganol tentu tak asing lagi di telinga. Sebuah toko di Jalan Mataram atau Jalan MT Haryono, tepatnya nomor 530 Kota Semarang menyuguhkan berbagai macam layangan beserta aksesorinya lengkap. Toko itu yang dikenal dengan nama Maganol (penyederhanaan penyebutan lima tiga nol).
Saat musim layangan tiba, toko ini nyaris tidak pernah sepi. Namun karena permainan musiman, tak jarang banyak menyisakan layangan yang tak terjual.
“Kalau lagi musim ya begini ini. Nanti kalau sudah bosan atau memasuki musim hujan, stok kami jadi sisa-sisa. Sekarang saja sampai habis,” kata Mulyono pemilik Toko Maganol, Jumat (2/7/2021).
Mulyono adalah generasi kedua penerus toko Maganol milik orang tuanya. Ia menceritakan berdirinya toko Maganol buntut peristiwa G30S/PKI. Masa itu, kedua orang tuanya terpaksa melepaskan pekerjaan sebagai guru dan mendirikan sebuah toko kecil kelontong.
“Toko ini kan dulu jualannya mainan tradisional anak-anak. Misalnya seperti kelereng, karet, umbulan termasuk layangan,” terangnya.
Nama Maganol, kata Mulyono, sebetulnya tidak memiliki arti khusus. Melainkan berasal dari penyebutan alamat nomor rumah, yakni 530.
Berkembangnya zaman, toko ini telah mempunyai produk sendiri, seperti senar gilasan hingga berbagai jenis layangan. Terdapat merk dagang senar gilas yang diproduksi, di antaranya Pinokio, Hiu, Lumba-Lumba dan Singa.
“Meskipun produk sendiri, produksinya bukan di toko melainkan di Bandung. Toko ini juga yang datang tidak hanya pengguna layangan saja, namun toko-toko yang lainnya untuk kulakan, ya di sini kami juga jadi tempat grosir,” tuturnya.
Sejak berdiri hingga sekarang, Mulyono menyebut tokonya telah menjadi tujuan penggemar layangan. Hal itu menjadi bukti komitmennya menyediakan segala jenis layangan dan perkakasnya.
Sehingga, lanjutnya, kualitas produk adalah hal yang utama ia kedepankan. Selain itu, ia juga menekankan kepada seluruh pegawainya untuk menanamkan prinsip pekerjaan yang dilakukan cermat dan penuh kehati-hatian.
“Orang tua saya mengajari seperti itu (utamakan kualitas). Sekarang kamu mau dicari orang atau orang yang mencarimu? Kalau mau dicari ya tunjukkan kualitas,” paparnya.
Dalam kesempatannya, ia memberikan rekomendasi produk terbaik di Magonol. Produk tersebut disebutkan bukan tanpa alasan, karena para penggemar yang mempercayai kualitasnya. Yaitu merek Pinokio yang merupakan produk peninggalan orang tuanya dan merek Hiu adalah produk buatannya.
Harga di Maganol tentunya beragam, tergantung dari kualitas bahan produksi itu sendiri dan ukuran gulungan senar gilasan. Ditawarkan mulai dari kisaran harga Rp 500,00 hingga Rp 150 ribu. “Pinokio itu paling mahal. Tapi yang paling banyak dicari Hiu. Kalau layangan Rp 1.500,” pungkasnya.(HS)