PSIS menjadi salah satu klub di Liga 1 yang pernah memiliki prestasi gemilang di kancah liga Indonesia era 1980 hingga 1990an. Meski di tahun 2000an prestasinya meredup dan harus bersaing di kasta kedua liga Indonesia, namun tim ini tetap memiliki nama besar dan kerap melahirkan pemain top Indonesia.
Klub dengan julukan Mahesa Jenar ini pernah meraih gelar tertinggi di sepak bola nasional pada tahun 1987 dan 1998/1999, serta pada tahun 2006 mereka keluar sebagai runner-up divisi utama.
Puncak prestasi dari PSIS saat dilatih oleh Edi Paryono, setelah mencapai peringkat 2 dari 5 tim Grup D dan kemudian runner-up Grup F (10 Besar) Liga 1998/1999, PSIS akhirnya menggondol gelar juara setelah di final yang menjadi “partai usiran” yang harus terbang ke Manado. Dengan semangat balas budi atas meninggalnya 11 orang suporter PSIS di Manggarai, PSIS bermain kesetanan dan mengalahkan Persebaya dengan skor tipis 1-0 melalui gol Tugiyo di injury time babak kedua.
Di era itu, ada banyak pemain bintang lokal yang menghuni skuad Mahesa Jenar. Selain Tugiyo, Agung Setyabudi, dan I Komang Putra, publik pecinta PSIS tentu tal bisa melupakan satu nama, Ali Sunan.
Ali Sunan menjadi salah satu pahlawan PSIS ketika menjuarai Liga Indonesia kala itu.
Ketika itu, pria asal Lamongan ini menjadi salah satu pemain pilar Laskar Mahesa Jenar di bawah arahan pelatih Edy Paryono.
Tak hanya menjadi pemain pilar, Ali Sunan juga diberi kepercayaan mengemban ban kapten klub asal Ibu Kota Jawa Tengah tersebut.
Menyandang status sebagai kapten PSIS, Ali Sunan juga menjadi pemain yang menerima trophy juara usai Laskar Mahesa Jenar mengalahkan Persebaya Surabaya di final Liga Indonesia di Stadion Klabat, Manado.
Usai membawa PSIS juara, Ali Sunan lantas hijrah ke Persija Jakarta. Di Ibu Kota Indonesia itu, dia hanya setahun sebelum membela klub asal tanah kelahirannya, Persela Lamongan.
Setelah itu, pria yang lahir di tanggal 1 November 1970 tersebut membela PSJS Jakarta Selatan sebelum memutuskan pensiun di tahun 2005.
Setelah lama tak terdengar kabarnya, Ali Sunan ternyata masih berkecimpung di dunia sepak bola.
Di sela kesibukannya bekerja di Pelabuhan Semen Indonesia yang terletak di Tuban, Ali Sunan masih aktif melatih SSB milik Desa Soco Rejo, Tuban.
Tak hanya bekerja di koperasi desa tersebut, pria yang memiliki 10 caps bersama Timnas ini juga memiliki usaha toko olahraga di rumahnya yang berada di Lamongan.
Namun, usaha tersebut dikelola sang istri karena dia memiliki kewajiban bekerja di Tuban.
“Kalau bisnis pribadi di rumah. Ada toko olahraga yang dikelola istri,” ungkap Ali Sunan.
Lama tak berkecimpung di dunia sepak bola profesional, Ali Sunan masih memiliki keinginan untuk hadir di tengah-tengah pemain muda Akademi PSIS untuk sekadar memberi motivasi.
“Saya sebenarnya masih memiliki keinginan untuk hadir di tengah pemain-pemain muda PSIS untuk memberi motivasi. Namun ini kan belum bisa, semoga nanti setelah situasi normal bisa ke Semarang kasih motivasi ke pemain-pemain muda,” tandas Ali Sunan.
Sebagai mantan pemain sepak bola, ternyata darah atlet juga mengalir pada anaknya.
Namun Ali Sunan mengaku tidak memaksakan anaknya untuk mengikuti jejaknya menjadi pesepak bola sukses. Padahal anak laki-lakinya kini juga meniti karir di bidang sepak bola.
“Anak saya memang saat ini merintis karir di sepak bola. Namun saya tidak akan pernah memaksakan kehendak untuk seperti ayahnya. Biar dia menjadi dirinya sendiri,” tutur Ali Sunan, Selasa (16/06/20).
“Tetapi saya tetap akan terus pantau. Misal kondisi fisiknya, itu akan saya ingatkan untuk terus latihan jika memang ingin menjadi seorang pesepak bola,” imbuh pria yang dulu mengenakan nomor punggung 8 di PSIS ini.
Anak Ali Sunan sendiri bernama Rivaldo Aimar dan musim lalu tercatat sebagai salah satu penggawa Bhayangkara FC U-16. Di kompetisi Elite Pro Academy U-16 tahun 2019 silam, Rivaldo Aimar berhasil mengantarkan The Guardian muda juara dua kompetisi setelah di partai puncak takluk dari Tira Persikabo.(HS)
Semua wawancara Ali Sunan dikutip dari Indosport.com.