UPAYA Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang untuk menghidupkan Hotel Du Pavillon atau sekarang dikenal Hotel Dibya Puri yang berada di Jalan Pemuda mulai dilakukan. Dengan adanya revitalisasi, tentunya nanti keberadaan bangunan tersebut akan membuat nilai tambah terutama memperkaya wisata sejarah di Kota Semarang, karena memang berada hanya sekitar 100 meter dari Kawasan Kotalama dan Aloon -Aloon Pasar Johar. Dan diharapkan, akan menjadi daya tarik atau magnet luar biasa terutama bagi wisatawan yang tertarik dengan banyaknya bangunan bersejarah di kawasan tersebut.
Dari sejarahnya, Hotel Du Pavillon ini salah satu bangunan hotel yang dibangun pada masa kolonial Belanda, dan kini kondisinya tak terurus dan mangkrak. Serta nampak bangunannya telah rusak parah karena dimakan usia. Bahkan, atap hotel juga roboh karena kayunya mulai keropos.
Terkait rencana revitalisasi bangunan bersejarah Dibya Puri, Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu menjelaskan, bakal berkomunikasi dengan pemilik Hotel Dibya Puri atau Du Pavillon yakni In Journey yang merupakan salah satu BUMN.
“Kemarin ada informasi ada kerjasama antar BUMN untuk melakukan revitalisasi Hotel Dibya Puri,” katanya, belum lama ini.
Mbak Ita, sapaan akrabnya, menambahkan, Hotel Dibya Puri merupakan bangunan cagar budaya dan memiliki sejarah di Kota Semarang. Bahkan beberapa tokoh besar di Indonesia pernah menginap di hotel berlantai dua ini.
“Ini kan bangunan bersejarah, atapnya roboh dan sebagian sudah habis. Ini tinggal tembok saja, eman-eman,” ujar Mbak Ita.
Mbak Ita menjelaskan, pihaknya akan menghubungi pemilik gedung Dibya Puri yakni In Journey untuk memastikan kepada hotel tersebut akan di revitalisasi. Menurut informasi yang ada, pemilik bangunan akan melakukan revitalisasi menjadi bangunan yang menarik.
“Tapi sampai sekarang belum ada kabar, nanti akan saya kontak lagi,” lanjutnya.
Karena letaknya yang ada di jalan utama dan pusat kota, dengan kondisi saat ini, lanjut Mbak Ita, malah merusak estetika kota.
“Ini kan nggak enak dipandang mata, karena ada di jalan utama,” paparnya.
Pemkot lanjut dia, sebenarnya sudah melakukan pendekatan dan pembersihan bangunan tua yang ada di Semarang. Misalnya, agar bersih dari pohon liar dan lainnya, tujuannya agar tidak merusak estetika kota.
Seperti diketahui, Du Pavillon merupakan salah satu hotel termewah di Kota Semarang sebelum abad ke-20. Hotel ini juga pernah direnovasi secara besar-besaran pada tahun 1913, hanya untuk menyambut tamu-tamu yang akan menghadiri perhelatan tentoonstelling pada 1914.
Tentoinstelling sendiri merupakan sebuah pameran yang dianggap terbesar di Asia Tenggara saat itu.
Dalam proses renovasi ini, bangunan mulai dilengkapi dengan jaringan listrik yang memadai dengan pemasangan lampu-lampu yang indah dengan sentuhan penataan modern. Tak hanya penataan penerangan, kamar-kamar yang ada juga direnovasi menjadi lebih modern, termasuk melengkapi kamar mandi pribadi di setiap kamar.
Dari bentuk bangunannya, Hotel Inna Dibya Puri mengadopsi gaya arsitektur eropa klasik. Seperti nampak dari karakteristik beberapa bagian terlihat pilar-pilar besar yang berfungsi sebagai penyangga.
Tentang keindahannya, pahlawan kemerdekaan RA Kartini pun pernah menuliskan cacatan soal hotel ini dalam Een Gouverneur Generalsdag.
RA Kartini yang saat itu bersama saudaranya pergi ke Semarang, menuliskan pengalamannya tentang ketakjuban waktu melihat dan menginap di hotel tersebut.
Menurutnya gapura kehormatan yang bermandikan lampu cahaya di Hotel Du Pavillon itu tampak seperti pemandangan dalam dongeng tentang kota ajaib.
Tak hanya RA Kartini, kemegahan Hotel Dibya Puri juga pernah diakui beberapa tokoh politik Indonesia.
Dengan letak hotel yang sangat stategis, berada di pusat Kota Semarang, tidak heran jika dulu hotel ini sering disinggahi para pejabat untuk menginap saat ada dinas di Kota Semarang.
Hotel ini biasa digunakan oleh para bangsawan Belanda, juga pernah ditinggali oleh presiden pertama Indonesia, Soekarno dan keluarga, serta presiden kedua Indonesia, Soeharto. Pada masa pemerintahan Pak Harto pun diberikan mandat untuk semua PNS yang bertugas di Semarang diwajibkan menginap di hotel ini.
Namun sebelumnya, pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, terutama sekitar tahun 1945, keindahan hotel ini pernah sirna oleh konstelasi politik nasional yang terjadi di Kota Semarang.
Terlebih lagi saat hotel ini menjadi tempat pertempuran antara para pejuang kemerdekaan Indonesia dengan para serdadu Belanda sekitar tahun 1945. Kala itu, masa revolusi fisik pemuda Semarang terlibat baku tembak dengan para penjajah dalam pertempuran lima hari di Semarang. Akibat pertempuran itu, beberapa bagian bangunan seperti dinding dan jendela mengalami kerusakan.
Pasca perang tahun 1945, hotel yang berada di Jalan Pemuda ini berganti-ganti tangan pengelola, mulai dari Pemerintah Kota Semarang, Departemen Perhubungan dan Departemen Parawisata.
Kemudian tahun 1976 diambil alih sepenuhnya oleh Departemen Keuangan yang bermitra dengan PT Natour, yang mengelola hotel ini dan mengganti nama Du Pavillon menjadi Inna Dibya Puri. Setelah berganti nama, hotel masih berfungsi sebagai tempat penginapan. Namun tahun 2006an lalu hotel dan lahannya informasinya telah dilelangkan dan dibeli pihak swasta. (HS-06)