in

Hei Mahesa Jenar, Gak Malu Kalah Terus?

PSIS menggelar internal game di Lapangan Kick Off POJ, Kota Semarang pada Kamis (14/8/2025) sore.

PSIS sepertinya sedang tidak baik-baik saja di awal Pegadaian Championship 2025/2026. Kompetisi yang seharusnya jadi panggung kembalinya Laskar Mahesa Jenar ke Liga 1, malah berubah jadi drama komedi hitam ala sinetron panjang episode.

Tiga laga, tiga kekalahan beruntun, 0-4 dari Persiku Kudus di kandang sendiri Stadion Jatidiri Semarang, kalah lagi 0-2 saat dijamu Persipura Jayapura di Papua, dan yang terbaru, kalah 1-2 dari Persiba Balikpapan di kandang sendiri.

Di laga terakhir, gol Dani Sormin di menit ke-24 sempat jadi harapan, tapi seperti nasib buruk yang lagi on fire, dua sundulan Takumu Nishihara di menit 84 dan penalti menit 88′ langsung ubah euforia jadi euforia… ehm, euforia yang keringetan.

Ah, PSIS, kebanggaan warga Semarang yang biasa bangga dengan warna biru, kini malah jadi juara kategori “kekalahan paling estetis”. Statistiknya? Nol kemenangan dari tiga pertandingan, nol poin, tujuh gol kebobolan, dan cuma satu gol balasan, yang itu pun hilang sia-sia seperti harapan promo di minimarket pas gajian telat.

Di Grup B, Mahesa Jenar juru kunci, posisi yang lebih rendah dari harga tiket masuk stadion. Ironis, ya? Klub yang tahun lalu degradasi dari Liga 1 dengan 25 poin dari 32 laga, kini di Liga 2 malah seperti tim amatir yang baru belajar passing.

Pelatih Kahudi Wahyu Widodo bilang, “Di top level dunia juga ada tim yang kalah beruntun, tapi mereka bangkit.”

Benar sekali, Pak Kahudi! Manchester United aja pernah empat kali kalah berturut-turut, tapi mereka punya duit Arab untuk beli pemain baru. Kita? Kita punya semangat Jawa Tengah yang katanya tak tergoyahkan, tapi kok jaring gawang bergetar terus?

Mari kita hiperbola sedikit: tren buruk ini seperti kutukan, dewa pelindung Semarang yang lagi liburan ke Bali dan lupa bawa perisai. Bayangkan kalau setiap kali PSIS kebobolan, ada hantu yang dulu menghuni Kota Lama kini ikut tertawa dari tribun VIP.

Di laga perdana, Persiku Kudus datang ke Jatidiri seperti tamu tak diundang yang langsung bawa pesta liar: empat gol tanpa ampun, yang bikin penulis bertanya-tanya, “Ini Liga 2 atau latihan penalti?”

Lalu ke Papua, Persipura main di rumah sendiri yang udaranya tipis, dua gol mereka bikin PSIS seperti tim wisata yang lupa bawa peta.

Dan Persiba? Comeback ala film horor Jepang, di mana unggul dulu justru jadi awal mimpi buruk tuan rumah. Pemain katanya overthinking saat leading, ironis? Di Semarang yang terkenal santai, kok timnya malah kegeeran mikirin “jangan-jangan gol balasan datang”?

Tapi jangan salah paham, ini bukan sindiran kasar buat pemain atau pelatih. Justru, elemen humor di sini seperti lumpia isi rebung: keras di luar, tapi dalamnya penuh kejutan manis, asin, dan gurih.

Dan suporter? tanpa mereka, stadion Jatidiri seakan sunyi kayak Kota Lama waktu belum direvitalisasi.

Sekarang, tren buruk ini seperti diet ekstrem yang dipaksakan: PSIS lagi puasa gol, tapi kebobolan justru overeating. Dari tiga laga, rata-rata 2,33 gol masuk per pertandingan, cukup untuk bikin analis bola pusing hitung rumus.

Plot Twist

PSIS pulang ke Liga 2 setelah degradasi dramatis di Liga 1, di mana mereka kalah 18 kali dari 32 laga. Harapannya naik lagi cepat, eh malah kayak roller coaster yang macet di bawah. Tapi inilah sepak bola Indonesia: penuh plot twist, di mana tim promosi seperti Tornado Kendal FC bisa comeback, dan favorit seperti PSIS jadi underdog di cerita sendiri.

Lalu, apa pelajarannya dari kekacauan ini? Bahwa kekalahan beruntun bukan akhir dunia, tapi awal babak baru di sinetron panjang berjudul “Bangkitnya Mahesa Jenar”.

Kahudi Wahyu sudah introspeksi, pemain janji tak overthinking lagi, mereka bakal main seperti lagi makan soto Semarang: santai tapi nikmat.

Dan suporter? PSIS bukan cuma tim, tapi identitas, seperti Lawang Sewu yang konon angker tapi tetap ikonik.

Sabtu, 4 Oktober 2025, PSIS menjamu Barito Putera di Jatidiri pukul 19.00 WIB. Ini laga krusial, di mana Laskar Mahesa Jenar bisa putuskan kutukan atau tambah episode baru.

Kalau menang, bench pemain pasti meledak seperti kembang api Tahun Baru Imlek, lumpia gratis buat semua, dan Mas Yoyok Sukawi selaku CEO angkat trofi… ehm, poin pertama.

Tapi kalau kalah lagi? Ya sudah, kita tambah babak “Empat Neraka di Oktober”, lawan Persipal, PSS Sleman, Deltras, dan Persela.

Hiperbola lagi: ini seperti ujian akhir sekolah, di mana nilai jelek tiga kali bikin guru bilang, “Kamu bisa, asal belajar!”

Akhirnya, saudara-saudara sesama pecinta Mahesa Jenar, ingat: sepak bola itu seperti hidup, penuh gol sia-sia dan comeback tak terduga. PSIS mungkin lagi di dasar klasemen, tapi dasar itu tempat fondasi dibangun, bukan tempat tinggal permanen.

Bangkitlah, seperti bandeng yang digoreng tetap renyah meski mentah di dalam. Untuk suporter, sebaiknya datang ke stadion, nyanyi lebih kencang, dan ingatkan pemain: kalian bukan kucing garong yang diet, tapi singa Jawa Tengah yang lagi latihan roar.

Siapa tahu, di akhir musim, kita tertawa atas cerita ini sambil bilang, “PSIS juara meski sempat kalah beruntun!”

Karena di sepak bola, yang penting bukan berapa kali jatuh, tapi berapa kali bangun sambil bawa bola menuju ke gawang lawan. Semangat, Mahesa Jenar, kita tunggu plot twist selanjutnya.(HS)

Pengelolaan Sampah Jadi Prioritas Program Pemprov Jateng

IKM di Kendal Ikuti Pelatihan dan Pendampingan dari Kemenperin RI