in

Beda Data Kemiskinan BPS dan Bank Dunia, Anggota DPR Ini Pemerintah Evaluasi Serius

Anggota DPR RI Komisi IV DPR RI, Saadiah Uluputty (Foto : emedia.dpr.go.id)

 

HALO SEMARANG – Anggota DPR RI Komisi IV DPR RI, Saadiah Uluputty, menyoroti ketimpangan tajam, antara data resmi yang disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) dengan laporan World Bank, terkait tingkat kemiskinan di Indonesia.

Ia menegaskan bahwa perbedaan metodologis yang ekstrem, harus menjadi bahan evaluasi serius, terutama dalam konteks kerja Komisi IV yang membidangi sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan.

Sebab menurutnya, ketiga sektor tersebut merupakan tumpuan ekonomi mayoritas penduduk miskin di daerah pedesaan, pesisir, dan kepulauan.

Ia menguraikan bahwa BPS mencatat angka kemiskinan nasional per September 2024 sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa.

Namun World Bank dalam laporan ‘Macro Poverty Outlook’ April 2025, mengungkapkan bahwa berdasarkan ambang batas negara berpendapatan menengah atas (US\$6,85 PPP), 60,3 persen penduduk Indonesia tergolong miskin.

“Ini bukan hanya soal statistik, tapi menyangkut keberpihakan negara terhadap rakyat kecil. Saat rakyat kita belum mampu memenuhi standar hidup layak global, itu berarti ada masalah struktural yang harus diselesaikan secara serius,” kata Saadiah, di Jakarta, Selasa (6/5/2025), seperti dirilis dpr.go.id.

Legislator Dapil Maluku ini menyoroti bahwa sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan merupakan wajah dari kemiskinan Indonesia, yang tersembunyi di balik angka makroekonomi yang tampak membaik.

Meskipun sektor pertanian tumbuh signifikan sebesar 10,52% (y-on-y) pada triwulan I-2025 menurut BPS, pertumbuhan ini belum sepenuhnya dirasakan oleh petani kecil.

“Harga jual komoditas yang fluktuatif, akses pupuk yang masih terbatas, dan distribusi program bantuan yang belum merata membuat petani tetap berada di lingkar kemiskinan,” kata anggota Badan Anggaran DPR RI ini.

Pada sektor perikanan, Saadiah menyoroti masih rendahnya keberpihakan terhadap nelayan kecil, terutama dalam konteks penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur dan pembangunan kampung nelayan yang belum merata di kawasan timur Indonesia.

Sementara di sektor kehutanan, program rehabilitasi lahan kritis dan pemberdayaan masyarakat adat masih belum mendapat porsi anggaran yang memadai.

Ia juga menyinggung rasio penerimaan negara terhadap PDB yang hanya 12,8 persen, terendah di antara negara-negara ASEAN.

Hal ini mempersempit ruang fiskal untuk memperkuat layanan dasar di sektor-sektor esensial seperti pertanian, perikanan, dan kehutanan.

“Pemerintah harus mulai menyusun ulang arah pembangunan nasional berbasis data kemiskinan yang lebih realistis dan mengangkat martabat sektor-sektor rakyat seperti tani, nelayan, dan masyarakat hutan. Tanpa keberpihakan yang nyata, angka pertumbuhan hanyalah ilusi,” kata dia. (HS-08)

Pertumbuhan Melambat, Legislator Ini Minta Pemerintah segera Koreksi Arah Target Pertumbuhan Ekonomi

Kemenkes Fasilitasi Pengiriman Ratusan Perawat Ke Jepang