HALO JEPARA – Pemerintah Kabupaten Jepara telah bertindak cepat menangani temuan limbah di RW 2 Mambak Kecamatan Pakis Aji, Kabupaten Jepara, yang diduga berasal dari produksi farmasi ilegal.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jepara, Aris Setiawan, seperti dirilis jepara.go.id, menyatakan langkah penanganan langsung dilakukan.
Pemkab Dimulai pada 2 Oktober 2024 lalu, atau segera setelah informasi diterima.
sejumlah langkah telah dilakukan.
Pertama, DLH segera berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan (Dinkes) Jepara, guna mengetahui asal usul limbah tersebut.
Tidak lama kemudian, Kepala Dinkes menginstruksikan timnya untuk meminta klarifikasi dari pedagang besar farmasi atau PBF.
Selain itu, Dinas Lingkungan Hidup pun berkoordinasi dengan Polres Jepara, terkait adanya informasi temuan limbah yang diduga berasal dari pabrik obat ilegal.
“Berdasarkan arahan dari kepolisian, limbah ini sedang dalam tahap penyelidikan dan barang bukti telah diamankan,” kata Aris, baru-baru ini.
Tim gabungan dari DLH dan Dinkes, juga turun ke lokasi. Mereka berkoordinasi dengan pemerintah desa setempat, terkait kepemilikan lahan, pihak pengelola atau pemilik limbah tersebut.
Termasuk mencari data asal produk limbah, serta berupaya mengantisipasi dampak lingkungan yg mungkin timbul.
“Dinkes mencari data dari mana asal produk limbah. DLH melakukan antisipasi dampak lingkungan sementara, dg melokalisir limbah sehingga tak berdampak luas terhadap lingk sekitar,” jelasnya.
Selanjutnya, limbah yang ditemukan saat ini, menjadi barang bukti dalam penyelidikan kepolisian.
“DLH juga menyarankan agar pemerintah desa setempat, ikut mengawasi agar limbah tersebut tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggungjawab dan menimbulkan dampak lebih luas,” kata dia.
Aris juga menjelaskan bahwa sebagaimana regulasi yang ada saat ini, tempat pemrosesan akhir (TPA) Bandengan, hanya dapat digunakan untuk menampung sampah rumah tangga dan sejenisnya.
“Selain karena limbah temuan tersebut statusnya sebagai barang bukti, penanganan limbah B-3 harus sesuai dengan standar operasional yang berlaku dan berbeda penangannya dengan penanganan limbah biasa,” tambahnya.
Pemerintah daerah juga terus memantau perkembangan situasi untuk meminimalkan risiko lingkungan.
DLH terus berkonsultasi dengan pihak-pihak terkait, termasuk dengan kementerian terkait pemulihan lahan, yang mungkin terdampak atau terkontaminasi.
“Kami akan menentukan langkah yang tepat sesuai ketentuan, apabila lahan tersebut betul-betul terkontaminasi,” lanjutnya.
Bidang Farmasi dan Alat Kesehatan (Farmalkes) Dinkes Jepara, Silvy Alifia mengatakan pihaknya sudah menghubungi perusahaan yang namanya tertera pada kardus limbah.
Klarifikasi dari perusahaan menyatakan bahwa produk tersebut bukan buatan mereka, karena produksi obat serupa telah dihentikan sejak 2016.
Dugaan kini mengarah pada keterlibatan industri farmasi ilegal.
“Bisa dibuktikan dengan Nomor Izin Edar (NIE) yang tidak berlaku dan nomor batch yang tidak terdaftar,” ujarnya.
Dinkes juga telah meminta informasi tambahan dari Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Semarang.
BBPOM mengonfirmasi, obat yang ditemukan tidak lagi beredar secara legal. Memperkuat dugaan limbah tersebut berasal dari aktivitas farmasi ilegal yang diselidiki pada April 2024.
“Jika klarifikasi dari BPOM-nya, mungkin ada benang merah di situ,” tambahnya.
Selain itu, Dinkes telah mengirimkan surat edaran kepada seluruh fasilitas kesehatan di Jepara.
Surat tersebut meminta agar pengelolaan obat-obatan dilakukan sesuai standar. Semua pihak yang menerima surat memastikan bahwa limbah yang ditemukan bukan bagian dari persediaan mereka. (HS-08)